Minggu, 18 April 2010

Catatan Perjalanan Pamekasan Madura #2

Sore menunjukan pukul 17.30 kota Pamekasan masih terlihat sangat terang oleh matahari senja kala sore itu. Beberapa orang dengan busana muslim sudah terlihat banyak memasuki pelataran masjid agung As Syuhada. Didepan masjid yang merupakan alun-alun kota juga terlihat orang-orang yang menikmati sore bersama keluarga maupun kawan. Ruang publik tersebut semakin terlihat ramai dengan para penjual yang dikerubuti anak-anak kecil yang mengantri untuk membeli jajanan. Tak berbeda dengan masyarakat Pamekasan yang menikmati sore itu, saya dan teman saya juga berjalan mengitari alun-alun kota pamekasan itu, melihat dan menikmati setiap sudut alun-alun kota batik Pamekasan.

Sebuah monumen Arek lancor berdiri dengan gagah tepat ditengah alon-alun, dengan latar belakang masjid agung monumen tersebut akan terlihat semakin indah jika dinikmati ketika sore. Monumen tersebut adalah lambang perlawanan dan kegagahan masyarakat Madura khususnya Pamekasan, jika diperhatikan dari jauh memang yang nampak seperti api yang sedang berkobar, namun itu adalah bentuk dari Arek (sabit) yang bisa menggambarkan masyarakat madura. Terdapat 5 sabit saling mengapit menjulang ke atas, semakin sore cahaya lampu yang berwarna biru akan menerangi monumen terebut dan itu menambah kegagahan dalam keindahan monumen itu. Dari informasi yang saya dapat monumen tersebut adalah monumen untuk mengingat perjuangan masyarakat Madura Pamekasan dalam melawan penjajah kala itu.

Tidak jauh disebelahnya juga terdapat monumen Proklamasi dengan burung Garuda yang terbang diatas batu. Burung Garuda itu terlihat berteriak lantang kepada Monumen Arek lancor, dan ternyata kedua monumen itu saling berhubungan satu sama lain. Yang intinya memerdekakan diri dari penjajah.

Masih dari komplek alun-alun kota Pamekasan, tepat didepan Monumen Arek Lancor terdapat sebuah museum daerah. Museum ini ternyata baru didirikan bulan Maret lalu, pantas saja tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan museum yang sangat berarti bagi wisatawan terebut. Museum ini juga saya sarankan untuk menjadi tujuan pertama dari perjalanan wisata jika anda melakukan wisata ke Pamekasan Madura, selain banyak informasi tempat wisata dan daerah yang layak untuk dikunjungi museum ini akan menjadi pemandu anda jika masih bingung berada di Pamekasan. Museum ini memiliki jam buka dari pukul 9 pagi sampai 9 malam, jika anda mendatangi museum ini anda akan bertemu dengan penjaga museum yang akan dengan baik menceritakan semua bahkan apapun tentang pamekasan yang anda ingin tahu.
Meski baru berumur satu bulanan, koleksi museum ini cukup bisa menggambarkan sejarah dan kebudayaan Pamekasan Madura. Kita bisa melihat sisa-sisa kejayaan Sultan Agung Mataram yang pernah menguasai Madura. Di museum ini kita juga bisa melihat kitab-kitab kuno Madura yang masih bertuliskan aksara jawa kuno dan kitab kuno dengan bahasa Arab. Beragam senjata tradisional khas Madura juga dipajang di museum ini mulai dari tombak sampai keris-keris pusaka. Tidak hanya memajang benda-benda sejarah, di museum ini kita bisa melihat Kleles yang biasa digunakan untuk karapan sapi dan sebuah Andong dengan tempat kusir dibelakang penumpang yang biasa digunakan oleh para ulama di Madura. Beragam kerajinan tradisional berupa alat-alat fungsional rumah tangga dan pajangan bisa kita temui di museum ini. Selain itu yang paling istimewa adalah kekhasan Pamekasan sebagai kota batik juga ditampilkan dengan batik yang pernah tercatat terpanjang di Indonesia, batik terpanjang itu bisa kita lihat di museum ini. jadi jangan lewatkan untuk memahami Pamekasan sebelum anda menjelajahi lebih lanjut melalui Museum ini, apalagi museum ini gratis dan terbuka untuk umum.

malam hari kami gunakan untuk melihat fenomena alam yang digunakan sebagai salah satu objek wisata andalan kabupaten Pamekasan yaitu Api Tak Kunjung Padam. Lokasi ini berada tidak begitu jauh dari pusat kota pamekasan, hanya berjarak 15 menit menggunakan kendaraan pribadi. Akses masuknyapun sangat mudah, hanya berjarak 800 meter dari jalan raya. Ketika kami memasuki daerah itu terlihat beberapa api yang menjulang tinggi ke atas, namun sayang akses menuju tempat tersebut sudah ditutup oleh kendaraan. Akhirnya kami hanya melihat api tersebut ditempat yang biasanya orang kunjungi juga. Ditempat tersebut sebuah petak tanah berukuran tidak lebar dari 10 meter dan dipagari besi api muncul dengan sendirinya dari dalam tanah. Api yang muncul tersebut saya rasakan tidak begitu panas dari api yang biasanya ada. Banyak dari pengunjung tempat wisata ini yang membawa makanan mentah untuk sengaja dimasak di Api Tak Kunjung Padam, seperti jagung, telur dan tak jarang juga membawa ikan. Di sekitar lokasi terdapat banyak penjual oleh-oleh seperti pakaian adat Madura Sakera lengkap dengan beragam senjata tajamnya dan juga bumbu dapur Terasi Madura.

Sekali lagi saya harus menyesalkan karena belum bisa menyaksikan seni tradisi khas Madura, Karapan Sapi yang katanya hanya bisa kita saksikan setiap bulan Agustus. Ternyata sehari sebelum kepulangan saya ke Surabaya saya bertemu dengan joki karapan sapi, Pak Etep namanya. Kami bertemu di Taroan, dari cerita yang saya dapatkan karapan sapi ternyata tidak hanya diadakan setiap bulan Agustus. Yang sangat saya sesalkan adalah bahwa minggu besok dia juga akan berlomba dengan karapan sapinya di daerah Pademawu Barat dan dia menawarkan untuk bisa melihat pertandingan karapan sapi dengan hadiah 5 buah motor tersebut. Namun pertemuan dengan joki karapan sapi itu dapat memberi informasi baru tentang karapan sapi yang diadakan secara besar di bulan Agustus itu.

Selain pantai Talang Siring di kecamatan Montok dan pantai Jumiang di Kecamatan Pademawu serta Api Tak Kunjung Padam di Tlanakan dan Museum Daerah yang berada di alun-alun kota, ternyata masih ada beberapa tempat yang layak untuk dikunjungi. Meski ada beberapa tempat yang saya belum sempat untuk mengunjunginya, namun akan saya ceritakan rangkuman yang saya dapat dari beberapa teman. Lokasi tersebut antara lain Pasar Batik yang terletak di jalan Joko Tole, ditempat tersebut kita akan banyak menemukan batik-batik khas Madura. Tempat kerajinan batik juga terdapat disekitaran pasar sore sebelah barat alun-alun kota, ditempat tersebut juga terdapat beberapa rumah kerajinan pembuat batik. Lokasi berikutnya adalah pasar 17 Agustus, pasar ini hanya ada setiap hari Minggu pagi dan Kamis pagi. Di pasar tersebut kita bisa melihat beragam hasil kerajinan Pamekasan lengkap dengan jajanan khas Pamekasan, lokasi ini terletak di utara pusat kota Pamekasan. Di ujung timur luar alun-alun Pamekasan juga terdapat bangunan Heritage berupa bangunan yang digunakan pada masa penjajahan sebagai bangunan listrik kota, bangunan ini berwarna biru yang akan dengan mudah kita lihat.Bagi yang suka kuliner, Pamekasan menyajikan sebuah tempat istimewa untuk para pecinta kuliner yaitu Sae Salera sebuah jalan di pamekasan yang diubah menjadi jalan dengan aneka masakan dan jajanan. Lokasi Sae Salera hanya berjarak 100 meter sebelah barat dari alun-alun kota, namun saya merasa ketika berada di tempat tersebut tidak terasa Maduranya. Untuk yang benar-benar penjelajah kuliner sepertinya tempat tersebut kurang pas, lebih menjanjikan jika kita mau warung kecil yang berada di pinggiran jalan di Pamekasan, memang agak sulit tapi sekalinya menemukan kita bisa merasakan masakan khas daerah Madura. Biasanya akan ada tanda dari dinas pariwisata Pamekasan jika warung terebut menyajikan masakan tradisional. Tanda tersebut berupa papan nama dengan motif batik bertuliskan wisata kuliner makanan khas daerah(jika tidak salah). Beberapa makanan khas yang pernah saya temui dan dinikmati antara lain, Kaldu Kokok, Kaldu Kikil, Rujak Cingur, Rawon dan Soto Madura. Kemungkinan jika beruntung anda bisa mendapatkan minuman Ta'al, minuman tradisional yang berasal dari pohon Siwalan. Serta jangan lupakan beberapa landscape sudut kota pamekasan yang memiliki mural-mural dengan gambar-gambar batik khasnya.

Sepertinya hanya itu yang bisa saya ceritakan tentang salah satu daerah di Pulau Madura ini. Daerah dengan syari'at Islam yang sangat terasa disetiap sudut kotanya.Daerah dengan eksotisme di setiap bukit yang ada didalamnya.Sebuah daerah yang menawarkan petualangan penuh ketegangan dan kesenangan. Tetap langkahkan kaki menuju Nusantara yang katanya indah itu hingga engkau benar-benar merasakannya.

Selasa, 13 April 2010

Catatan Perjalanan Pamekasan Madura

Perjalanan kali ini saya ingin menceritakan sedikit kisah dari beragam kisah yang sempat terekam di Madura. Pengalaman yang mengagumkan bisa merasakan keragaman Nusantara, perbedaan bahasa, cara bertutur masyarakatnya yang dinikmati dengan rasa kagum. Melihat budaya masyarakatnya, kuliner yang ada hingga keindahan alam dari mulai bentangan hijau dan bentangan pantai yang mengelilingi madura.

Minggu pertama saya bersama rombongan berada di Pemakasan, kabupaten kedua dari sisi timur Madura setelah Sumenep. Di Pamekasan tempat yang dikunjungi sangat banyak, daerah pelosok di kedalaman Pamekasan sempat kami datangi hingga puncak-puncak tertinggi di Pamekasan. Kontur tanah di Madura yang merupakan perbukitan membagi wilayahnya utara dan selatannya. Jika kita melewati daerah Waru menuju Pasian utara Pamekasan, pemandangan bukit batu menjadi pemandangan yang sangat menantang untuk ditaklukan.

Pada malam kedua kedatangan kami, kami menginap di rumah salah satu saudara teman saya yang berada di Sumenep. Malam itu kami berbicara dengan bahasa yang tidak karuan. Ada diantara ibu-ibu di daerah Sumenep yang tidak mengerti bahasa Indonesia, namun yang saya kagumi mereka tetap bisa menikmati sinetron. Meski berbicara dengan arah yang berbeda, dengan bahasa tubuh secukupnya saya berusaha mengkomunikasikan apa yang ingin disampaikan. Untung saja hanya beberapa ibu-ibu yang tidak bisa bahasa Indonesia, beberapa yang lain (yang pernah keluar dari Pulau madura bisa berbicara bahasa Indonesia) berbicara dengan bahasa indonesia Khas madura. Yang pasti saya bisa mengucapkan kata terimakasih dengan benar bahasa Maduranya, sakalangkong kak.

Di Sumenep saya sempat memperhatikan bentuk-bentuk bangunan yang ada, bentuk bangunan yang menunjukan bahwa pola kehidupan masyarakat Madura Sumenep bisa tergambar dari bentuk bangunan tempat tinggal mereka yang berkumpul menjadi satu menurut silsilah keluarga mereka. Setiap komplek bangunan biasanya terdapat satu mushola kecil untuk keluarga tersebut melakukan ibadah, tempat ibadah tersebut seperti menjadi tempat berkumpulnya keluarga setelah melakukan aktifitas. Namun hidup berkelompok di sebuah tempat tinggal tidak menunjukan bahwa antara warga satu dan yang lain, keluarga satu dan keluarga lainya tidak harmonis.

Setelah melewati malam yang sangat cepat, pagi itu saya bersama rombongan mendapatkan menu pagi yang terlihat sangat berbeda dari biasanya. 5 piring rujak Madura ditata rapi dengan rantang piring khas Sumenep, ditambah secangkir teh dari cangkir lawas yang sudah jarang saya temui sekarang ini. Tidak ada yang berbeda dengan rujak yang pernah saya temui di daerah berbeda, dengan bumbu kacang dan campuran sayuran rujak madura itu disajikan dengan secangkir teh hangat istimewa.


Selain hidangan kopi tubruk yang sangat kasar dan teh yang lebih mirip sirup, ada hidangan tak sengaja yang membuat saya ingin mencicipinya. Tembakau Sumenep yang sudah terkenal rasanya, dengan sedikit keraguan saya mengambil irisan tembakau kecil yang masih berwarna kuning muda. Lintingan rokok yang sangat berharga malam itu, tanpa campuran sebatang rokok telah siap saya hisap. Terasa sangat enteng memang tembakau itu, pantas saja beragam merk rokok terkenal mengambil stok tembakau dari Sumenep. Di sepanjang perjalanan si pamekasan juga saya melihat beberapa pabrik rokok yang terkenal, mungkin rokok yang anda hisap sekarang ini merupakan tembakau dari Madura.

Selanjutnya saya akan sedikit bercerita tentang pantai selatan Madura yang memang lebih terkenal bagus daripada pantai utaranya. Di pesisir pantai Sumenep Pamekasan malah bisa saya gambarkan seperti cerita lama keindahan pantai Indonesia, Tepian pantai dengan nyiur melambai indah menjadi pemandangan yang harus dinikmati. Meski belum sempat menikmati pantai di Sumenep yang dikabarkan menarik itu, saya bisa menikmati salah satu pantai di daerah Montok, Pamekasan yang berbatasan dengan Sumenep. Angin di pantai selatan Madura lebih terasa dari pada sisi Utara, dilihat dari jumlah nelayan daerah selatan juga lebih banyak daripada utara. Di pantai Montok juga ada beberapa kapal penyebrangan menuju Besuki Banyuwangi, ini sekedar tips untuk backpacker bahwa jalur menuju Bali melalui Madura juga bisa dinikmati melalui Montok ke Besuki.

Bicara tentang masyarakat Madura, ada perbedaan yang besar dibanding dengan masyarakat Jawa, kita akan ditemukan dengan keunikan dan kekerasan warganya. Sampai-sampai saya berasumsi bahwa apa yang mereka inginkan itu merupakan apa yang mereka tetapkan. Salah satu cerita yang ingin saya bagikan dan saya alami sendiri ini merupakan kisah konyol yang mudah-mudahan tidak dialami teman-teman yang akan ke Madura.Wwaktu itu saya bertemu dengan Bpk "F", beliau orangnya sangat baik. kami bercerita banyak tentang pengalaman masing-masing, perbincangan kami cukup menyenangkan, sebatang dua batang rokok kami habiskan bersama. namun situasi tiba-tiba berubah sangat drastis. Bpk F yang awalnya baik jadi berubah drastis, alasanya hanya karena saya menolak tawarannya untuk mampir kerumahnya, mandi lalu minum kopi. Inilah keramahan yang tiba-tiba hampir menjadi kemarahan.Dari kejadian tersebut saya kemudian mengerti bahwa orang madura itu tidak mau dianggap kecil dengan tawaran mereka, apapun itu, sekecil apapun tawaran mereka jika kita menolak maka itu akan sangat menyakiti hati orang tersebut. Jika kebanyakan orang jawa basa-basi dalam melakukan penawaran terhadap tamu, maka itu kebalikan dari beberapa orang Madura yang menganggap menawarkan sesuatu kepada tamu merupakan kehormatan. apabila kita menolaknya berarti kita tidak menghormatinya.

Inilah sedikit cerita awal dari Madura, cerita yang saya dapat dari puncak-puncak tertinggi di Pamekasan. Apalagi bersama orang-orang hebat yang selama 2 Minggu ini menemani pengalaman yang menyenangkan sekaligus menegangkan di Pemekasan ini. Sayang saya belum sempat melihat kebudayaan asli Madura, Karapan Sapi. Bentuk tradisi masyarakat madura setelah melakukan panen besar, biasanya menurut informasi yang saya terima puncak tradisi Karapan Sapi ada pada bulan-bulan Oktober. Pada bulan tersebut sampai ada piala tertinggi dari presiden.

Sampai sini dulu kawan, tetaplah langkahkan kaki menikmati Nusantara yang katanya indah ini, sampai kita benar-benar merasakan keindahannya.