Kamis, 26 Desember 2013

Bermimpi dengan Uang Seribu

Saya mulai menuliskan ini ketika sebuah lagu dari Ebiet G Ade terdengar penuh makna di setiap liriknya. Judulnya Berita kepada Kawan. Tapi, saya tidak akan menceritakan lagu tersebut. Lain tempat jauh dari meja tempat laptop saya terletak di Selatan Jakarta, jauh di timur Indonesia. Tempat di mana terdapat sejarah yang semoga saja banyak orang tahu dan menyadari bahwa kolonialisme bermula dari tempat itu, ini menurut pengetahuan saya sebenernya.  Jadi, perhatikan baik-baik dengan tidak terlalu serius tulisan saya ini.

Tahu apa yang dipikirikan anak kost di setiap akhir bulan seperti ini. Tidak perlu pusing memikirkan jawabannya, karena jawabannya sudah bikin pusing. Dulu sekali apalagi pas jaman sekolah, setiap akhir bulan “uang”menjadi masalah yang dianggap serius bagi saya. Selember uang seribuan menjadi sangat berarti waktu itu. Selembar uang seribu yang lusuh bisa mendapatkan indomie rasa ayam spesial di warung depan, tentunya yang mentah. Selembar uang seribuan yang kadang gambar kapiten Patimuranya bisa tersenyum sinis pada saya “anak muda, apa sebenarnya yang kau risaukan. Segitu aja kemampuanmu hah!” nah, kalau sudah seperti itu, kalau ilusi, imajinasi liar muncul tiba-tiba dari selembar uang seribuan. Pasrah, karena ga bisa ngelakuin apa-apa lagi “Tenang pakKapitan, saya anak muda yang tidak menyerah begitu saja!” Tirakat, mungkin kata yang menjadi alasan terbaik dalam kondisi akhir bulan.

Daripada berperang dengan ilusi pak Kapitan, selembar uang seribuan tadi saya balik. Tersenyum sendiri, .....  lama ga bisa nulis (hampir beberapa menit) membayangkan gambar yang terdapat di uang kertas seribuan.


Saya yakin, 7 kali yakin. Bisa dibuktikan 7 dari 8 orang ketika ditanya gambar apa yang di balik Kapitan Patimura itu apa, tidak ada yang bisa menjawab dengan cepat. Ini yang tadi saya ceritakan di awal, saya tidak bercerita soal lagu pak Ebiet yang suka bikin galau, atau kondisi akhir bulan meringis karena tipis.Adalah gambar di uang seribuan yang menarik buat saya tulis. 

Pulau Maitara dan Tidore. Silahkan kalau mau petunjuk di Google dulu, apa itu dua pulau tersebut sampai dijadikan gambar untuk uang seribuan. Pastinya ada yang spesial dari pulau kecil tersebut. Di awal pembuka tulisan ini sempet saya tulisbahwa di tempat inilah kolonialisme berawal. Di tempat inilah yang telah  mengundang penjelajah yang akhirnya memonopoli perdagangan apa yang terdapat di pulau tersebut. Penjelajah dari spanyol, Portugis, dan Belanda datang ke pulau ini. Aroma ciptaan Tuhan yang ada di tempat ini telah memanggil para penjelajah itu. 

Ok, sudah. Saya kurang jago untuk cerita soal sejarah, jadi saya hanya ingin bilang bahwa apa yang terdapat di uang seribuan itu ternyata menyulut, membakar, emosi saya. “apa mungkin saya bisa berada di sana?” dari balik uang seribuan itu ternyata gambar Kapitan Patimura sepertinya mendengarnya “Kamu bisa anak muda, nothing imposible in this world!”, “Terima kasih pahlawanku, saya tidak akan membuat ini hanya omongan belaka, saya akan kesana!”

Akan kukumpulkan kisah saya nanti jika sudah berada di sana. Dan, mungkin akan saya pasang lagu dari pak Ebiet dengan liriknya yang kadang bermakna itu. Berita kepada Kawan. Tapi saya berharap seorang teman akan menemaniku duduk di sampingku, tidak seperti kata pak ebiet yang ga ada temennya duduk sendirian menatap kering rerumputan.  Mungkin kalau ada telegram J koma akan kukabarkan temanku di sana dengan telegram biar romantis agar menunggu dengan sabar kedatanganku nanti titik Kemudian akan saya ceritakan bahwa ada uang seribuan di mimpiku titik
 


Minggu, 20 Oktober 2013

Kontemplasi di Toko Buku

Pernah ga menemukan sebuah tempat dimana kita bisa merasakan ketenangan atau mungkin kita bisa merasakan keajaiban? Bahkan di kota yang panas ini, ternyata ada tempat seperti itu. Jakarta, beberapa orang membencinya seperti saya yang juga kadang membencinya. Tapi percayalah semakin benci kita terdorong semakin dekat dengan kenyataan bahwa apa yang kita benci itu kenapa selalu dekat dengan kita. Dan ini adalah cerita tentang ketenangan kecil di sudut Jakarta.

Jakarta Sabtu sore 19 Oktober, niat awal hari ini berada di Bandung bertemu dengan teh Butet Manurung dan sorenya mau mengagetkan kawan lama di acara yang ia bikin, gagal! Memang benar istilah 'kita merencanakan, Tuhan yang menentukan' rencana saya ke Bandung gagal. Jadi, hari itu setelah sebelumnya suting sampai larut, saya habiskan hari sabtu santai dengan tidur spesial kemudian terbangun dan ngobrol dengan mas Agung tentang impian saya selama ini, membuat sebuah film tentang gunung. kemudian yang dilakukan adalah nonton film, kemudian, doing nothing.

Saya merenung. Melihat tembok kamar kos, kadang berdialog dengannya. Ngliat buku di rak. Tasssss. Kemudian ada momen ketika melihat buku-buku itu, tiba-tiba merasa seneng. Sudah pasti saya senyum-senyum sendiri. Kemudian ada salah satu buku seperti berbisik "bro, gak beli buku lagi! Masih ada tempat kosong di sisiku nih."

Nah kan, kegilaan mulai muncul. Padahal malam tadi ga minum-minum juga. Kenapa merasa sinting sendiri. Hmmm... Buku yang satu lagi mau bicara sepertinya. Saya siap ndengerin "bos, katanya mau beli kakak saya lagi."

Oh iya, saya lupa mau beli majalah berlogo kuning itu. "Terima kasih ya sudah ngingetin" lho kok, gw ikutan ngomong juga ke mereka. Sialan, ini efek sendirian di kamar dengan suhu ac 16 derajat. Matiin ac, biar panas maksudnya kemudian mandi biar terlihat segar.

Bagi saya berada di toko buku merupakan momen tersendiri dimana saya dan buku-buku yang ada di rak seperti memiliki ikatan. Saya tahu mereka, begitupun buku tersebut. Dia juga mungkin selalu tahu siapa pemiliknya. Buku tersebut tidak bersuara, tapi saya bisa mendengarkan apa isi hatinya :). Ini mungkin yang sering orang sebut sebagai kontemplasi. Saya dapatkan ketenangan saat ada di toko buku. Saya sadari ini ternyata sudah dialamin dari dulu.

Di Jakarta yang panas ini ternyata ada tempat bagi saya bisa berkontemplasi. Ga perlu pergi ke gunung atau pantai sepertinya :).

Seperti biasa ga ada rencana mau beli apa. Nyusurin rak demi rak merupakan pengalaman spiritual sepertinya, uh yang ini terlalu lebay. Dari rak buku anak-anak sampai dewasa. Dari rak buku akutansi sampai politik. Meski ga mungkin beli buku politik :). Makanya tadi saya bilang, buku akan tau siapa pemiliknya.

Saya nyusurin rak di buku rekomendasi, sudah sering berada di bagian rak ini. Tiba-tiba ada buku bersampul orange seperti memanggil. Bergambar sampul seorang indian memegang tombak naik kuda. Ada satu nama yang tak asing. Winnetou, beberapa bulan terakhir saya seering mendengar nama ini. Saya baru sadar bahwa nama ini merupakan tokoh yang diceritakan oleh pak Herman Lantang dan pak Heru Soeprapto mereka ini tokoh petualang Indonesia. Mereka pernah menceritakan kenapa mereka mendaki juga karena membaca Winnetou. Buku ini dibuat oleh Karl May, langsung saja saya ambil buku ini. Mungkin si buku tersenyum, karena dia bertemu dengan pemiliknya.

Kalau buku kedua saya tertarik karena judulnya. "Mahameru. Bersamamu." Buku ini tentang catatan perjalanan yang ditulis oleh Ken Ariestyani. dan, saya memang belum mengenalnya. Saya pikir yang menulis ini orang yang berada di rotasi kegiatan outdoor Indonesia. Ga tau juga, namanya belum saya kenal. Tapi saya selalu suka dengan catatan perjalanan. Apalagi itu tentang gunung, saya langsung membelinya. Padahal tiga tahun belakangan ini saya malas lewat rak buku travel. Ga tau malas aja, ngeliat catatan perjalanan yang isinya how to atau where to aja... Maafin saya. Kalau di rak travel, mungkin ga ketemu dengan buku ini. Untung saja buku ini ada bersama novel, jadi kebeli. Mungkin yang sortir ga ngerti. Tapi karena itu jadi berjodoh buku ini. dan lagi, buku ini tau siapa pemiliknya.

Rak demi rak saya susuri lagi, membaca sinopsis peradaban dunia. atau bertemu tokoh dunia yang wajahnya memberikan senyum di sampul bukunya. Saya pegang buku biografi pak Sjahrir, salam hormat saya untuk anda pak. Terima kasih memperjuangkan bangsa ini. Saya kembali letakan buku itu.

Ada satu buku yang belum bisa kebeli sampai saat ini, ekspedisi dari Wanadri tentang pulau terdepan Indonesia. Saya hanya bisa melihat, memegang dan berharap suatu saat bisa mengambilnya.

Buku ketiga yang dibeli adalah buku Ring of Fire. Ketertarikan saya tentang dunia petualangan memang diharuskan untuk membaca buku-buku seperti ini. Apalagi buku ini diciptakan oleh seorang produser acara tv dan film. Lowrence Blair dan Lorne Blair. Senang bisa berjuma dengan anda-anda pak, buku anda sudah ada ditangan saya. Ini buku berisi catatan ekspedisi 10 tahun persinggahan mereka di Indonesia, di tengah hutan hujan, gunung. Wah baca halaman belakang saya bener merinding. Dengan berucap Bismillah saya mengambil buku tersebut. Semoga bermanfaat untuk saya. Buku ini telah memilih pemiliknya :).

Buku keempat tentang tumbuhan yang dilindungi di Taman Nasional Gede Pangrango. Gunung favorit saya. 100 Tumbuhan Dilindungi di Gede Pangrango. Buku ini dibuat oleh Edith Sabara & Sopian, semoga bermanfaat buku ini. Menambah literatur untuk film saya nanti, amin.
Sudah cukup, sekarang tinggal dompet yang berbisik lirih :). Tapi majalah edisi spesial belum kebeli, jangan sampai lupa lagi. Saya langsung ambil Natgeo edisi Oktober yg telat saya beli. Kemudian ke rak komik untuk ambil seri ke-4 dan 5 cerita chef Mitsuboshi yang konyol, ini komik seru lho.
 Dan, gerimis mengiringi saya pulang di dalam angkot. Kontemplasi saya berakhir hari ini. Tinggal jangan hanya jadi pajangan di rak nanti itu buku.

Dari dalam tas terdengar suara buku-buku itu meributkan sesuatu, sepertinya mereka saling bertaruh siapa yang akan baca duluan. Tenang saja kalian, kalian bertemu pemilik yang tepat kok. Buku, mereka tau siapa pemiliknya.

Jakarta 19 Oktober 2013
"personal journey"

Jumat, 23 Agustus 2013

Belum Ada Judul

Di suatu malam, kita pernah berbincang bersama. Satu cerita tentang mimpimu yang membuat ingatan malam itu kembali terbang malam ini. Malam itu kita bercerita bahwa dunia akan tahu mimpi-mimpi kita. Mimpimu agar orang yang ada disampingmu merasa bangga. Percaya anak ingusan ini bisa memberi perubahan.

Tapi kemudian, saya lupa tentang mimpi-mimpi kita itu. -terdengar lirih lagu Iwan Fals, Belum Ada Judul.

Senin, 12 Agustus 2013

Lama Berucap


Suatu hari, sentilan kecil saat membaca tulisan di bak truk. Tulisan tersebut cukup sederhana, bak truk berwarna kuning itu bertuliskan "jangan tunggu masa tuamu" tercetak tebal berwarna biru.

Hingga sebuah pesan masuk ke inbox social media "kapan mau nulis lagi?" Menulis blog menjadi salah satu kegiatan yang dulu janjinya konsisten. Saat ini, sudah jarang menulis. Bagi seorang bloger mendapat pertanyaan seperti itu adalah bagian dari kesenangan ngeblog. Ternyata saya masih punya pembaca :).

Konsistensi ngeblog perlahan hilang. Ga apa, sementara pikirku waktu itu. Tapi ini sudah keterlaluan, bahkan blog di kompasiana menulis hanya setahun sekali. Dulu saya punya pembaca setia, jumlahnya ga sampai jumlah jari di tangan kananmu. Tapi dari dia, saya punya motivasi besar untuk selalu menulis, bahkan sampai saat ini belum pernah bertemu dengannya.

Mungkin sekaran harus berubah program agar bisa konsisten lagi menulis.

Tulisan baru ini, saya hanya ingin mengucapkan "Mohon maaf lahir batin, buat temen-temen yang merayakan lebaran. Maafkan jika ada salah.

 

Rabu, 05 Juni 2013

Meet Le' Paimo


2012. Suara kereta masih menemai sepanjang perjalanan Jakarta-Jogja. Saat itu masih banyak pedagang lalu-lalang menawarkan aneka jajanan, sekarang sudah tidak lagi. lembaran majalah kuning itu masih berada di pangkuan, dalam artikel ada tulisan dari seorang yang belum saya kenal. Saya lupa waktu itu ia menjelajah bersama Tantyo bangun di Perancis kalo tidak salah. hanya foto punggungnya yang terlihat, wajahnya ga nampak. Dia adalah Bambang Hertadi, pesepeda asal Indonesia.

Tujuan pulang ke Jogja kali ini adalah mengikuti pelatihan caving yang sudah saya rencanakan jauh hari. 2 Minggu meninggalkan pekerjaan di Jakarta memang tidak mudah, tapi keinginan untuk melengkapi pengetahuan alam liar sebagai pondasi nanti menjadi lebih penting menurutku saat itu. Caving, salah satu kegiatan alam liar yang memang harus saya pelajari lebih lanjut. kesempatan kali ini tidak saya sia-siakan, saya tinggalkan keramaian jakarta saat itu.

Pelatihan 2012 saya bertemu dengan banyak temen-temen Mapala dari seluruh Indonesia. kegiatan dimulai, dari awal technical meeting diberitahu program yang harus diikuti selama pelatihan. Dan, inilah yang mau saya ceritakan terkait seorang pesepeda yang hanya terlihat punggungnya di artikel national geographic traveler itu. salah satu pelatih fisik saat itu adalah lek paimo, saya belum tau banyak tentang dia. Jam setengah lima kami sudah dibangunkan untuk latihan fisik, mata masih berat. enggan memang, kami berkumpul pukul 5.30, menghitung denyut nadi. setelah pemanasan kami disuruh berlari. Yang memimpin kami adalah seorang dengan kain penutup kepala, tubuhnya kecil, namun tatapan matanya tajam. Dia ga mengenalkan siapa dia seperti instruktur caving disini. 

Kami berlari beberapa kilo, kemudian masih ngos-ngosan kami melakukan olahraga pagi dipimpin olehnya. push up dan yang lainya berpuluh-puluh push up, sampai ratusan sepertinya dilakukan selama kegiatan. Pikir saya udah tua kuat juga ini orang, masa saya kalah lari. masih muda nafaas udah ga jelas. Nah, tiba saatnya ketika malam akhirnya saya tahu siapa dia sebenarnya. setiap malam kami diberi materi tentang caving dan kegiatan penjelajahan. Saat itu, orang yang saya kenal nama aslinya Bambang Hertadi itu memberikan materi manajemen perjalanan. 

Dia ceritakan pengalaman-pengalamannya. kemudian tiba di satu cerita, saya seperti pernah mendengar cerita itu. ternyata dia orang yang ada di Majalah. oh ternyata. yang paling saya ingat adalah ketika lek paimo bercerita tentang bagaimana ia bisa membaca tanda-tanda alam, seperti diberitahu oleh alam bahwa sesuatu akan terjadi padanya. hmmmm mungkin tak semua orang bisa seperti itu.

Jum'at 31 Mei 2013. di Bentara Budaya Jakarta ada sebuah acara diskusi tentang penjelajahan sepeda dari national geographic traveler. Pembicaranya adalah lek paimo. saya mengetahui acara ini malam sebelumnya bahwa baru tahu ada event tersebut. Langsung saja atur jadual agar bisa mengikuti diskusi itu.

Di acara tersebut benar-benar tidak mengenal satupun yang datang. Saya memang sempat berpapasan dengan mbak Aristi didepan tapi mau menyapa ga enak, mungkin dia lupa :). Mbak aristi juga salah satu pembicara saat itu. karena tak ada yang kenal kemudian nyari tempat sepi untuk merokok sebentar. kemudian masuk toilet, di toilet sempit saya berpapasan dengan orang yang memang ingin saya temui. seorang pesepeda dan pendaki yang menjadi instruktur fisik caving. orang yang tak bisa lepas dari radio kecil yang pernah saya tanya sebagai teman perjalanan. Lek Paimo, ketemu lagi di sebuah toilet sempit di sudut Bentara.

Acara share cerita berlangsung cukup cepat, dialog yang tercipta memberikan pengetahuan bagi saya yang awalnya hanya menggunakan sepeda sebagai alat transportasi kalau sedang males. Dari diskusi saya mengetahui bahwa lek paimo akan menjelajah gunung di Iran. Mumpung ada orangnya saya minta tanda-tangan darinya dihalaman 7 buku membelah pegunungan andes yang ditulis olehnya. satu buah kaos ijo toska yang sebenarnya kekecilan juga saya ambil sebagaikenang-kenangan, kaos yang sering dipake juga oleh lek paimo.
 
Bertemu dengan orang yang pernah memberi inspirasi memang selalu seperti itu, ketika mau bertanya malah bingung. hanya bisa terpesona mendengar apa yang ia ceritakan. tapi bisa mendengarkan cerita-cerita yang penuh resiko itu selalu menyenangkan kawan. sayangnya dia cerita sedikit, memang terkesan kaku karena diatas panggung kali.



Senin, 27 Mei 2013

Tujuh tahun lalu di Jogja

Suatu hari di sebuah kota yang penuh dengan kedamaian. tempat dimana pemuda-pemudinya suka berkarya, tempat dimana kesopanan menjadi modal untuk bisa hidup di era yang katanya semakin modern. namun kota ini masih dengan tradisi sopan santun yang melekat. Saat itu puluhan pemuda yang berlabel mahasiswa sedang melakukan produksi film pendek sebagai syarat untuk kelulusan mata kuliah dari dosen yang baik hati dan tidak sombong. Sebut saja rombongan tim A yang membuat film pendek mengenai pemuda galau yang mengidap penyakit dan akan meninggal (di script ceritanya begitu sebenarnya: karena saya yang nulis naskahnya :) Kami akhirnya suting dan kelar, bermodal kamera yang masih pake kaset vhs dan seorang lightingman yang baru keluar magang dari belantara jakarta kami menyelesaikan tugas akhir tersebut.

Malam saat itu tim post produksi sudah berkumpul bersiap untuk edit film pendek. berlokasi di tempat Rohman yang paling memiliki alat-alat canggih waktu itu saya bertolak menuju rumahnya. Berangkat dengan Itok biasa dipanggil suprapto meminjam motor Ronny. malam itu kami bersenang-senang sambil mendengar obrolan Rohman yang emang banyak bicara.

Malam berlalu, jam berlalu waktu itu kami hampir terlelap. Pagi disaat masih terlelap, tiba-tiba kota yang damai itu berguncang hebat. Suara teriakan, takbir untuk Tuhan Yang Maha Esa terdengar jelas. suara teriakan orang minta tolong membangunkan kami.

Ingatan saya masih ingat ketika terlihat Itok memegang LCD besar milik rohman, namun benda-benda yang lain disekitar itu ikut berjatuhan karena goncangan hebat. Setelah berhenti kami keluar, tak ada waktu itu pikiran menghindar jika rumah itu rubuh. Setelah keluar gempa susulan masih terasa sangat besar, bangunan masih bergoyang, tembok rubuh. Seorang kakek yang minta tolong saya angkat dari depan rumah rohman. Dia, kesakitan tertimpa atap rumahnya.

Saya menaruh kakek itu dihalaman yang aman, kemudian melihat sekeliling dimana terlihat rumah-rumah yang hancur. teriakan, tangisan semakin kencang. saya meninggalkan kakek itu setelah beberapa orang menghampiri. ada yang jelas teringat ketika seorang ibu menanyakan anaknya, kemudian yang lain menjawab masih didalam rumah. ia kembali histeris. di tempat Rohman di Gowok memang termasuk daerah yang terkena dampak gempa itu.

Saya kembali ke rumah Rohman, ternyata rumah kakak rohman yang terletak dibelakang kamar sudah rata dengan tanah. Ponakannya duduk terdiam diatas reruntuhan rumah itu. kami berteriak agar ia pergi dari situ takut ada gempa susulan. setelah itu saya dan itok berniat kembali ke kontrakan. motor ga ada, kami cari ternyata tertimbun rumah kakak rohman.

Dijalan terlihat muka-muka dengan ekspresi sedih, muka kotor berdebu. hari itu saya masih bisa menahan tangis saya, melihat kesedihan dimana-mana. sampai di kontrakan, temen-temen sudah pada diluar. kontrakan kami ikut hancur, atap sudah rusak, genting sudah pada hancur.

Satu lagi, disaat kami warga berkumpul terdengar teriakan dari selatan yang bilang akan ada Tsunami,spontan orang-orang ikut berlari ke utara. semuanya, berlari. Saya pasrah, bila saatnya tiba ya mungkin bukan begini caranya. hanya keluarga dirumah yang saya ingat waktu itu. saya beranikan diri masuk ke kamar dalam kondisi gempa susulan. hanya mengambil foto keluarga, dalam hati saya berujar mungkin jika terjadi apa-apa foto ini akan menjadi alat pengenal.

Mereka berlari, berjalan, menangis, mencari anaknya yang terpisah. waktu itu yang saya ingat adalah ketika seorang nenek yang berjalan aja susah masih berusaha menuju selatan. ingin sekali sebenarnya menggendong nenek itu. tapi ini sudah suratan jika saja memang terjadi tsunami.

Orang semakin banyak berlari menuju utara menghindari isu tsunami. saya masih berada di depan kontrakan, berkumpul bersama beberapa warga yang tidak berlari sambil mendengarkan radio informasi.

Sepertinya tak ada habisnya mengingat bercerita kisah memilulan ini, tapi semua sudah kambali normal. setelah gempa saya ikut menjadi volunteer di rumah sakit Sarjito beberapa minggu, sampai kondisi hampir normal. ada satu kalimat yang saya ingat dari korban gempa waktu itu, pas saya mengantar bapak itu menuju rumah didalam ambulan dia bilang untung saja kaki kanan saya masih utuh. inilah jogja, saya lihat bapak itu masih tegar selama perjalanan. sampai dirumahnya yang sudah hancur saya melihat beberapa orang sudah berkumpul. Bapak itu tiba-tiba menangis ketika bertemu warga sekitar, dan saya baru tahu bahwa bapak itu kehilangan beberapa keluarganya. Saya hanya ingat bahwa dia mencoba tidak menunjukan kesedihan kepada kami. kemudian kami mengantar pasien lain lagi, diperjalanan saya bertemu dengan bayi kecil yang kehilangan ibunya.

2006 lalu menjadi cerita tersendiri, tragedi yang sekarang sudah terlupa. Jogja bangkit, Jogja harus bangkit. itu yang mereka katakan. Bencana tidak bisa dihindari. masa lalu memang tak bisa dihindari, namun masa depan harus bisa kita rubah. Jogja Bangkit.

Hari ini selalu menjadi pengingat akan kejadian luar biasa 7 tahun lalu. 27 Mei 2006 akan menjadi sejarah di Jogja. Film yang kami buat sampai sekarang belum jadi, tapi pernah diedit dan menjadi draft awal.

Kamis, 04 April 2013

Pada Suatu Hari

Sejak dulu saya memang sangat akrab dengan mobil satu ini. memiliki tiga pintu layaknya mobil sport mewah memang. Di tempat saya lahir mobil ini diberi nama koperades, sebenarnya angkudes tapi entah yang memulai siapa menjadi hanya koperades. Ayah saya dari dulu bekerja bersama koperades ini membawa mobil kecil yang bisa muat 20 orang lebih naik turun gunung di tempat saya lahir. sering saya dibawanya untuk ikut narik angkutan pedesaan ini.

Saat ini bahkan belasan tahun berlalu saya masih akrab dan bisa dibilang makin akrab dengan angkutan kecil ini. Jakarta, kota besar yang memiliki sarana transporasi 24 jam (jangan bicarakan kenyamanan dulu) Saat ini, saya masih bekerja di sebuah production house, sebuah industri yang begitu unik dan mungkin membutuhkan orang-orang yang unik pula. Untuk menuju ke kantor tersebut saya harus naik angkutan 3 kali, kalo pulang pergi bisa jadi 7 kali naik angkot.

Ini yang menjadi ide dasar saya pengin menuliskan pengalaman unik setiap naik angkutan di Jakarta. Saya cinta banget sama aktifitas saya ketika berada di dalam angkot. Mungkin inilah salah satu alasan dari belasan alasan kenapa sampai saat ini saya tidak memiliki kendaraan sendiri, honda beat yang sudah ganti seri bahkan belum sempet diambil, padahal foto honda beat putih itu sudah lama jadi wallpaper di hape agar supaya cepat terwujud.

Pernah suatu saat saya bisa duduk bareng dengan seorang perempuan cantik yang wangi. biasanya kalo untuk perjalanan luar kota saya selalu memulai pembicaraan yang berakhir dengan perkenalan. tapi, kalau di Jakarta jangankan nyapa, melirik, melihat, senyum dikit aja bisa dianggap pelecehan (untungnya sampai saat ini belum pernah ngalamin) Biasanya kalo pas dapat perempuan cantik ditambah wangi seperti tidak mau beranjak dari tempat duduk, penginnya terus sampai dia itu turun.

"Bang, geser dikit kenapa!" dengan nada yang tidak enak ibu yang saya tidak kenal ini selalu menyuruh saya bergeser, terus, berulang kali sampai akhirnya saya lepas dari rasa bersalah setelah ada penmpang turun dan saya berpindah tempat duduk. Ibu itu memiliki postur tubuh yang tidak sesuai dengen bentuk tempat duduk di metromini,ditambah dia memakan salak yang kulitnya dibuang sembarangan.

Pernah dengar Sandy Sandoro nyanyi malam biru? Seperti itulah gambaran seorang pengamen yang pernah saya temui di Metromini 640 jurusan Pasar Minggu - Tanah Abang. Suaranya benar-benar bisa membenamkan suara mesin diesel, klakson mobil yang berebutan jalan. Kalau nemuin pengamen dengan suara bagus kayak itu biasanya apresiasi lebih untuknya.

"Kami bisa jadi musuh ketika di jalan, lawan. Namun ketika di garasi kami ini saudara." Jangan heran bila melihat angkutan di Jakarta saling berebut, bisa juga berakhir dengan tonjok-tonjokan antar sopir. Pernah saya tanya pada sopir metromini itu kenapa sukanya ngebut.  "Ngebuut itu urusan perut (dengan logat bataknya) dan penumpang juga maunya cepet."

Yang paling apes adalah ketika harus dioper angkutan yang saya tumpangi,biasanya karene sopir malas atau karena penumpang itu tinggal sedikit sebelum sampai titik akhir.

Itu belum seberapa ketika di angkot itu sangat penuh dan isinya kebanyakan ibu-ibu dan perempuan muda. Metromini 75 yang saya tumpangi cukup kencang. "Pan, ambil itu, geser pagernya!" Sopir yang masih muda itu dengan kencang memerintah kernetnya yang bernama akhir Pan itu untuk menggeser pagar yang ada di perempatan Mampang agar bisnya bisa masuk. Tingkah kernet itu menjadi sasaran empuk raja jalanan saat ini, motor. Motor malah sepertidi kasih jalan mereka langsung satu persatu masuk pagar yang digeser kernet itu. " Sialan malah motor yang masuk duluan!" Sopir dengan kaos Jackmania itu menggerutu.

Metromini akhirnya bisa menembus kemacetan di mampang, dengan cepat meliuk-liuk metro mini seperti sedang balapan. Penumpang saling menguatkan pegangan, yang tertidur tidak terasa, mereka tetep tidur. Mereka sudha terbiasa dengan kondisi seperti ini. Yang mereka pikirkan adalah cepat sampai rumah dan bertemu keluarga mereka.

sampai di perempatan duren tiga tiba-tiba mobil ini mogok. "Pan, itu dibawah ada kabel dinamo, sambung!"

"Yang mana njing, ga ada"

"Lo bisanya apa pan....."

Setelah dicoba berkali-kali. usaha mereka gagal. Lampu sudah hijau, mobil dibelakang kami sudah mulai berteriak lantang dengan bunyi klaksonnya. Polisi tak menghiraukan metromini yang ugal-ugalan ini.

"Dorong Pan!"

Si kernet yang bernama akhir Pan itu minta tolong kepada penumpang untuk membantu mendorong, yang naik disini kebanyakan perempuan yang sepertnya tidka mungkin untuk membantu. Akhirnya 3 orang yang turun termasuk saya untuk membantu mendorong metromini yang penuh penumpang ini.

satu, dua , tiga dorooooong. serentak kami mendorong metromini itu. beberapa orang ikut membantu, seperti pengamen dan pedagang di sekitar perempatan. Mobil bisa dinyalakan lagi, kami melanjutkan perjalanan. Saya tersenyum sendiri dengan situasi seperti tadi. Ini Indonesia kawan!


---kemungkinan masih bersambung tulisan ini.


Jumat, 29 Maret 2013

Selangkah Lebih Dekat

Pagi, siang, malam, dini hari.Setiap saya beranjak dari tempat saya tidur, terkadang beragam pikiran mulai muncul. dari yang ringan sampai ringan sekali. Memang pikiran yang berat seringnya saya tidak dipikirkan dulu ketika baru beranjak dari tempat tidur.

Hari ini saya mau tuliskan betapa kekuatan impian itu memang menjadi luar biasa ketika kita benar-benar ingin mewujudkannya. sesuatu yang kecil, berawal dari keinginan untuk membuat sesuatu untuk Indonesia(sedikit ga ringan ketika kita menyebut Indonesia). Pikiran ringan-ringan berat yang tidak bisa dibuang begitu saja.

Saya ingin melakukan sesuatu untuk Indonesia. Awalnya saya bukan siapa-siapa ketika menceritakan hal ini kepada kawan-kawan saya. beberapa bahkan menertawakan. Tapi, kemudian saya bertemu orang-orang hebat yang saya berani bilang merekalah orang-orang yang benar-benar mengerti, mengenal apa itu Indonesia.

Bersama mereka, menjadi bagian kecil dari mereka untuk mengenal Indonesia. Mereka adalah para pendaki yang mencintai tanahnya, tanah Indonesia. Dimana identitas keIndonesiaan muncul bersama mereka, jiwa-jiwa yang beruntung bisa merasaka Indonesia.

Saya bukan seorang pendaki. setiap keringat yang menetes, peluh, lelah dan asa menyatu bersama langkah yang lunglai. hanya untuk mencari apa yang tidak bisa dituliskan. Kemana saya pergi, mencari apa. Melakukan hal yang bodoh, bahkan beberapa orang menyebut itu sia-sia. kawan, saya menyadari itu semua.

dari setiap lelah yang saya rasakan, saya mulai merasakan sesuatu yang lain. kemudian sampai akhirnya saya berteriak lantang bahwa INI INDONESIA!

Saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita orang penting, yang akan mengubah ironi menjadi sebuah harapan baru. Ironi tentang Indonesia yang banyak orang bilang sebagai negara korup, politik yag amburadul dan cercaan lain yang semakin membuat indonesia kehilangan identitasnya.

Kita yang mencintai alam dan tanahnya akan merubah ironi itu, menjadi sebuah harapan yang lebih baik untuk Indonesia. teriakanlah terus dengan lantang Ini Indonesia. Tunjukan pada dunia bahwa Indonesia bukan hanya korupsi,politik yang carut marut. jika kita terus kobarkan jiwa semangat kita, semoga harapan kita semua menjadi kenyataan. Jelajahi terus setiap sudut Indonesia ini, katakan pada mereka hingga mereka benar-benar merasakannya.

Ini impian yang telah terpendam bertahun-tahun, impian dari seorang pekerja TV untuk sesuatu yang berbeda, untuk Indonesia.