view bonus dalam perjalanan |
Minggu lalu saya dan Lutfi jalan-jalan ke
Sukabumi. Ceritanya Lutfi ditawari tanah di kaki Gunung Salak. Ia ingin melihat
lokasinya langsung. Kami pergi ke sana hanya dengan bekal tanah tadi milik Mang
Epeng di Kampung Cipari Girang. Sebenarnya beberapa tahun lalu Lutfi pernak ke
sana tapi dia sama sekali tidak tahu jalan. Sedangkan dua temannya yang tahu
tempat tadi sedang tidak bisa dihubungi. Yang satu umrah di Makah, satunya berada
di gunung.
Supaya tidak kesorean, kami berangkat dari
Jakarta Selatan sekitar pukul 10 pagi. Dua jam kemudian kami berhenti untuk
numpang salat dan jajan di sebuah masjid di pinggiran Bogor. Masjid tadi dua lantai.
Papan pengumumannya penuh dengan tempelan cara iblis menggoda manusia, juga dosa
apa saja yang mempersulit.
Kami melanjutkan perjalanan ke arah sukabumi. Mulai masuk pinggiran Bogor, kiri dan kanan jalan penuh dengan pohon. Masih
hijau. Dari kejauhan sering terlihat Gunung Salak dan Gunung Gede Parangro. Sayang
jalan di sini terlalu sempit. Motor, mobil, dan angkutan umum harus berebut
jalan dengan truk-truk besar yang membawa ratusan galon aqua. Truk jenis ini
menguasai jalan karena hampir tiap menit lewat.
Setelah perjalanan yang terasa lama sekali,
barulah kami belok kanan di daerah Cicurug. Suasana berubah menjadi pedesaan. Rumah-rumah
dibuat berjauhan. Udara di sini pun masih sejuk. Tak heran ada beberapa
penginapan. Kami terus mengikuti jalan. Sampai aspal habis digantikan jalan
berbatu-batu.
Sampai di Desa Cisaat kami bertanya ke mana
arah Cipari Girang. Seorang Bapak berkata kami sudah ada di blok Cipari Girang.
Saat kami bertanya di mana rumah Mang Epeng, ia menunjukkan jalan ke atas.
Katanya ikuti jalan. Rumah yang kami cari ada di ujung jalan. Disini kami menggunakan cara lama, tanpa menggunakan teknologi. dan, kami benar-benar bertanya ala kampung. karena kami yakin setiap orang di desa itu biasanya pasti mengenal tetangganya meskipun itu tetangga jauh.
Kami kemumudian jalan melalui con blok
sempit. Sebagian jalannya naik. Kami menuju ke arah gunung. Selain curam, jalan
tadi juga berkelak-kelok. Kiri kanan kami penuh sawah yang baru saja ditanami.
Semakin naik, pemandangan berubah menjadi kebun sayur. Sesekali kami melihat
hamparan bunga potong.
Di Tanjakan terakhir kami hampir tidak
yakin arah yang kami tuju benar. Jalan tadi terlalu tinggi dan kami ragu apakah
masih ada rumah. Kami bertanya ke sebuah penjual tanaman. Dia berkata kalau
rumah Mang Epeng masih terus. Letaknya tepat sebelum hutan damar. Kami kemudian
melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian kami melihat 3 buah rumah. Lutfi
mengenali salah satunya sebagai rumah kayu Mang Epeng.
Sampai di rumah yang kami cari |
Lutfi kegirangan bisa sampai tempat itu
lagi. Dia benar, udara di sana masih bersih. penduduk juga mengambil air yang
masih jernih dari gunung. Sayang lokasinya terlalu jauh dari kota. Lutfi kemudian ngobrol dengan ibu Mang Epeng. Umurnya sudah lebih dari 70 tahun.
Orang biasa memanggilnya Emak Ica. Emak tidak bisa berbahasa Indonesia sedang
Lutfi tidak menguasai Bahasa Sunda. Tapi mereka bisa bercakap-cakap dengan
bahasa masing-masing.
Karena Mang Epeng sedang keluar, kami
duduk-duduk di teras rumah tetangga yang masih kerabatnya. Bapak tadi bercerita
kalu di Kampung mereka hanya orang tua yang masih tinggal. Anak-anak muda
selesai sekolah memilih untuk bekerja di Jakarta. Kami ngobrol-ngobrol tentang
mata pencahatian penduduk desa. Tiba-tiba istri tuan rumah kami datang
membawakan sepiring nangka goreng. Enak karena masih hangat. tidak lupa kopi hitam, meski sasetan tapi tetap terasa nikmatnya.
Serelah ngobrol-ngobrol, kami berpamitan
supaya tidak kemalaman di jalan. Tuan rumah kami sempat menawarkan makan
terlebih dahulu. Tapi berterimakasih sambil berpamitan. Mungkin lain kali kami
akan mampir makan jika singgah lebih lama. Lutfi yang tadinya ingin melihat
tanah bahkan tidak menanyakan sama sekali harga tanah. Lokasi tadi terlalu
jauh.
Dalam perjalanan pulang kamu mampir empat
kali. Sekali untuk makan siang. Lalu untuk salat ashar. Juga mampir untuk
membeli asinan. Kami paling lama berhenti di masjud Jami Bogor untuk salat magrib.
Pemandangan dari beranda masjid itu cantik. Kita bisa melihat matahari terbenam
dengan larar gunung salak dan Kota Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita buat semua ini menyenangkan.