Banyak sekali saya temui artikel dengan tema ekonomi khususnya yang berkaitan dengan uang, setiap hari akan ditemukan tulisan tersebut melalui surat kabar. Namun, tak jarang seseorang menuliskan sisi lain dari uang. Lewat tulisan Bambang ‘Toko’ Witjaksono saya menemukan kembali tulisan mengenai uang dari sisi lain, tulisan tersebut membahas tentang uang dan perangko yang mampu membentuk pengaruh visual bagi masyarakat. Disertakan pula bagian dari sejarah uang yang beredar di Indonesia serta lelucon kecil yang berkaitan dengan uang.
Dalam awal artikel diceritakan perbincangan ringan mengenai uang antara penulis dengan Pakdhe Kamit seorang kolektor uang kuno, sedikit sejarah uang dibahas pada awal alinea tersebut melalui uang logam bernilai 5000 yang dibuat pada tahun 1974. Dari alinea tersebut saya akhirnya menemukan beberapa data yang memang menyebutkan pada tahun tersebut beredar uang logam dengan pecahan 5000 bahkan lebih. Pada tahun tersebut beredar terbatas uang logam yang dibuat dalam rangka memperingati 25 tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang disebut Commemorative Coins. Commemorative Coins merupakan uang logamyang tidak diedarkan sebagai uang logam biasa tetapi dijual kepada kolektor dalam atau luar negeri. Pecahan tertinggi Commemorative Coins saat itu adalah 25.000 yang dibuat pada tahun 1970.
Pada alinea berikutnya diceritakan bahwa uang sebagai alat pembayaran, kondisi keuangan masyarakat pada saat itu digambarkan dengan jelas oleh penulis lewat gambaran kondisi transaksi yang melibatkan uang sebagai alatnya. Barter, sebagai system yang digunakan saat itu. Juga istilah ‘Gunting Syafrudin’ pengguntingan uang secara fisik yang terjadi pada tahun 1950.
Tertera pada akhir tulisan bahwa penulis merupakan staf pengajar di Jurusan Seni Grafis ISI Yogyakarta, perhatian akan bentuk visual sebuah uang maupun perangko menjadi tema utama dalam tulisan tersebut. Pengaruh visual yang mempengaruhi masyakarat melalui uang dan perangko, dari tulisan tersebut saya menambahkan bahwa visual yang tertera pada uang maupun perangko merupakan gambaran bagaimana kondisi pada waktu itu. Dalam tulisan dicontohkan uang sebagai alat propaganda pemerintah melalui gambar yang tertera pada uang ketika terjadi ‘pembebasan Irian Barat’, pada saat itu gambar yang terdapat pada uang merupakan bagian dari Irian Barat saat itu bereda uang dan perangko dengan seri gambar yang berhubungan dengan Irian Barat. Soekarno juga menjadi bagian yang penting dalam sejarah uang, gambar-gambarnya tertera pada cetakan seri uang kertas saat itu.
Pada tulisan tersebut juga bisa ditemukan bagaimana uang menjadi bahan lelucon dan permaian yang saya yakin beberapa orang pernah melakukannya. Perubahan waktu juga menjadi keprihatinan penulis, kemajuan tekhnologi, perubahan struktur social serta perkembangan desain. Uang kini muncul dengan tidak berbentuk fisik, fenomena e-buy maupun credit card membuat masyarakat tidak lagi memperdulikan bentuk uang secara fisik. Pada tulisan akhir penulis kembali menyampaikan mengenai desain yang ada pada uang 100.000 dan 10.000 melalui pertanyaan. Gambar pada uang tersebut tidak mengacu pada ilmu desain tetapi berdasakan ilmu perhitungan ekonomi. Berbagai pandangan masyarakat mengenai uang bisa menimbulkan argumennya sendiri-sendiri tapi jika melihat tulisan dari Bambang W kita bisa melihat pengaruh visual dari uang maupun perangko yang tertera sebenarnya tidak langsung memberi kita gambaran kondisi keaadan pada waktu itu namun kebanyakan orang tidak terlalu peduli dengan gambar yang digunakan sebagai pesan itu. Beredarnya uang palsu yang membuat akhirnya orang melihat gambar dan kondisi fisik uang secara teliti.
Uang tetaplah uang tidak ada yang menarik selain nilainya, salah satu tulisan mengenai uang yang ditulis Bambang W, bisa memberi pengetahuan baru mengenai uang tidak hanya dari sisi nilai dari uang tersebut tetapi pengaruh visual yang ada, dari uang kita bisa melihat kondisi saat itu. Kecuali dari judul tulisan tersebut, saya bisa mendapat pengetahuan baru mengenai sejarah uang Indonesia dan pengaruh-pengaruh visualnyanya kepada masyakarat.
Bahan bacaan:
SURAT, edisi Februari – April 2006, hal 8 surat YSC esai tentang uang dan perangko “Ada Uang Abang Disayang, Tak Ada Uang Dompet Melayang”. oleh Bambang ‘ Toko’ Witjaksono.
Katalog Pameran Senirupa Numismatik “Duit, Munten”, 16-27 Januari 2009, Bentara Budaya Yogyakarta.
Gugun Junaedi
Dalam awal artikel diceritakan perbincangan ringan mengenai uang antara penulis dengan Pakdhe Kamit seorang kolektor uang kuno, sedikit sejarah uang dibahas pada awal alinea tersebut melalui uang logam bernilai 5000 yang dibuat pada tahun 1974. Dari alinea tersebut saya akhirnya menemukan beberapa data yang memang menyebutkan pada tahun tersebut beredar uang logam dengan pecahan 5000 bahkan lebih. Pada tahun tersebut beredar terbatas uang logam yang dibuat dalam rangka memperingati 25 tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang disebut Commemorative Coins. Commemorative Coins merupakan uang logamyang tidak diedarkan sebagai uang logam biasa tetapi dijual kepada kolektor dalam atau luar negeri. Pecahan tertinggi Commemorative Coins saat itu adalah 25.000 yang dibuat pada tahun 1970.
Pada alinea berikutnya diceritakan bahwa uang sebagai alat pembayaran, kondisi keuangan masyarakat pada saat itu digambarkan dengan jelas oleh penulis lewat gambaran kondisi transaksi yang melibatkan uang sebagai alatnya. Barter, sebagai system yang digunakan saat itu. Juga istilah ‘Gunting Syafrudin’ pengguntingan uang secara fisik yang terjadi pada tahun 1950.
Tertera pada akhir tulisan bahwa penulis merupakan staf pengajar di Jurusan Seni Grafis ISI Yogyakarta, perhatian akan bentuk visual sebuah uang maupun perangko menjadi tema utama dalam tulisan tersebut. Pengaruh visual yang mempengaruhi masyakarat melalui uang dan perangko, dari tulisan tersebut saya menambahkan bahwa visual yang tertera pada uang maupun perangko merupakan gambaran bagaimana kondisi pada waktu itu. Dalam tulisan dicontohkan uang sebagai alat propaganda pemerintah melalui gambar yang tertera pada uang ketika terjadi ‘pembebasan Irian Barat’, pada saat itu gambar yang terdapat pada uang merupakan bagian dari Irian Barat saat itu bereda uang dan perangko dengan seri gambar yang berhubungan dengan Irian Barat. Soekarno juga menjadi bagian yang penting dalam sejarah uang, gambar-gambarnya tertera pada cetakan seri uang kertas saat itu.
Pada tulisan tersebut juga bisa ditemukan bagaimana uang menjadi bahan lelucon dan permaian yang saya yakin beberapa orang pernah melakukannya. Perubahan waktu juga menjadi keprihatinan penulis, kemajuan tekhnologi, perubahan struktur social serta perkembangan desain. Uang kini muncul dengan tidak berbentuk fisik, fenomena e-buy maupun credit card membuat masyarakat tidak lagi memperdulikan bentuk uang secara fisik. Pada tulisan akhir penulis kembali menyampaikan mengenai desain yang ada pada uang 100.000 dan 10.000 melalui pertanyaan. Gambar pada uang tersebut tidak mengacu pada ilmu desain tetapi berdasakan ilmu perhitungan ekonomi. Berbagai pandangan masyarakat mengenai uang bisa menimbulkan argumennya sendiri-sendiri tapi jika melihat tulisan dari Bambang W kita bisa melihat pengaruh visual dari uang maupun perangko yang tertera sebenarnya tidak langsung memberi kita gambaran kondisi keaadan pada waktu itu namun kebanyakan orang tidak terlalu peduli dengan gambar yang digunakan sebagai pesan itu. Beredarnya uang palsu yang membuat akhirnya orang melihat gambar dan kondisi fisik uang secara teliti.
Uang tetaplah uang tidak ada yang menarik selain nilainya, salah satu tulisan mengenai uang yang ditulis Bambang W, bisa memberi pengetahuan baru mengenai uang tidak hanya dari sisi nilai dari uang tersebut tetapi pengaruh visual yang ada, dari uang kita bisa melihat kondisi saat itu. Kecuali dari judul tulisan tersebut, saya bisa mendapat pengetahuan baru mengenai sejarah uang Indonesia dan pengaruh-pengaruh visualnyanya kepada masyakarat.
Bahan bacaan:
SURAT, edisi Februari – April 2006, hal 8 surat YSC esai tentang uang dan perangko “Ada Uang Abang Disayang, Tak Ada Uang Dompet Melayang”. oleh Bambang ‘ Toko’ Witjaksono.
Katalog Pameran Senirupa Numismatik “Duit, Munten”, 16-27 Januari 2009, Bentara Budaya Yogyakarta.
Gugun Junaedi
terima kasih, mas...
BalasHapusWah yang punya tulisan hadir, matur nuwun mas, disempetin mampir. essay ini adalah tulisan saya ketika belajar di Aksara IVAA. beberapa kali saya sempat datang juga ke diskusinya panjenengan. sudah lama tulisan ini numpuk difolder komputer sebelum ada yang baca tulisan ini, kemudian menyuruh disharing aja. mudah2an bisa bermanfaat, mohon koreksinya bila ada salah bos.
BalasHapus