Suatu hari di sebuah kota yang penuh dengan kedamaian. tempat dimana pemuda-pemudinya suka berkarya,
tempat dimana kesopanan menjadi modal untuk bisa hidup di era yang
katanya semakin modern. namun kota ini masih dengan tradisi sopan santun
yang melekat. Saat itu puluhan pemuda yang berlabel mahasiswa sedang
melakukan produksi film pendek sebagai syarat untuk kelulusan mata
kuliah dari dosen yang baik hati dan tidak sombong. Sebut saja rombongan
tim A yang membuat film pendek mengenai pemuda galau yang mengidap
penyakit dan akan meninggal (di script ceritanya begitu sebenarnya:
karena saya yang nulis naskahnya :) Kami akhirnya suting dan kelar,
bermodal kamera yang masih pake kaset vhs dan seorang lightingman yang
baru keluar magang dari belantara jakarta kami menyelesaikan tugas akhir
tersebut.
Malam
saat itu tim post produksi sudah berkumpul bersiap untuk edit film
pendek. berlokasi di tempat Rohman yang paling memiliki alat-alat
canggih waktu itu saya bertolak menuju rumahnya. Berangkat dengan Itok
biasa dipanggil suprapto meminjam motor Ronny. malam itu kami
bersenang-senang sambil mendengar obrolan Rohman yang emang banyak
bicara.
Malam
berlalu, jam berlalu waktu itu kami hampir terlelap. Pagi disaat masih
terlelap, tiba-tiba kota yang damai itu berguncang hebat. Suara
teriakan, takbir untuk Tuhan Yang Maha Esa terdengar jelas. suara
teriakan orang minta tolong membangunkan kami.
Ingatan
saya masih ingat ketika terlihat Itok memegang LCD besar milik rohman,
namun benda-benda yang lain disekitar itu ikut berjatuhan karena
goncangan hebat. Setelah berhenti kami keluar, tak ada waktu itu pikiran
menghindar jika rumah itu rubuh. Setelah keluar gempa susulan masih
terasa sangat besar, bangunan masih bergoyang, tembok rubuh. Seorang
kakek yang minta tolong saya angkat dari depan rumah rohman. Dia,
kesakitan tertimpa atap rumahnya.
Saya
menaruh kakek itu dihalaman yang aman, kemudian melihat sekeliling
dimana terlihat rumah-rumah yang hancur. teriakan, tangisan semakin
kencang. saya meninggalkan kakek itu setelah beberapa orang menghampiri.
ada yang jelas teringat ketika seorang ibu menanyakan anaknya, kemudian
yang lain menjawab masih didalam rumah. ia kembali histeris. di tempat
Rohman di Gowok memang termasuk daerah yang terkena dampak gempa itu.
Saya
kembali ke rumah Rohman, ternyata rumah kakak rohman yang terletak
dibelakang kamar sudah rata dengan tanah. Ponakannya duduk terdiam
diatas reruntuhan rumah itu. kami berteriak agar ia pergi dari situ
takut ada gempa susulan. setelah itu saya dan itok berniat kembali ke
kontrakan. motor ga ada, kami cari ternyata tertimbun rumah kakak
rohman.
Dijalan
terlihat muka-muka dengan ekspresi sedih, muka kotor berdebu. hari itu
saya masih bisa menahan tangis saya, melihat kesedihan dimana-mana.
sampai di kontrakan, temen-temen sudah pada diluar. kontrakan kami ikut
hancur, atap sudah rusak, genting sudah pada hancur.
Satu
lagi, disaat kami warga berkumpul terdengar teriakan dari selatan yang
bilang akan ada Tsunami,spontan orang-orang ikut berlari ke utara.
semuanya, berlari. Saya pasrah, bila saatnya tiba ya mungkin bukan
begini caranya. hanya keluarga dirumah yang saya ingat waktu itu. saya
beranikan diri masuk ke kamar dalam kondisi gempa susulan. hanya
mengambil foto keluarga, dalam hati saya berujar mungkin jika terjadi
apa-apa foto ini akan menjadi alat pengenal.
Mereka
berlari, berjalan, menangis, mencari anaknya yang terpisah. waktu itu
yang saya ingat adalah ketika seorang nenek yang berjalan aja susah
masih berusaha menuju selatan. ingin sekali sebenarnya menggendong nenek
itu. tapi ini sudah suratan jika saja memang terjadi tsunami.
Orang
semakin banyak berlari menuju utara menghindari isu tsunami. saya masih
berada di depan kontrakan, berkumpul bersama beberapa warga yang tidak
berlari sambil mendengarkan radio informasi.
Sepertinya
tak ada habisnya mengingat bercerita kisah memilulan ini, tapi semua
sudah kambali normal. setelah gempa saya ikut menjadi volunteer di rumah
sakit Sarjito beberapa minggu, sampai kondisi hampir normal. ada satu
kalimat yang saya ingat dari korban gempa waktu itu, pas saya mengantar
bapak itu menuju rumah didalam ambulan dia bilang untung saja kaki kanan
saya masih utuh. inilah jogja, saya lihat bapak itu masih tegar selama
perjalanan. sampai dirumahnya yang sudah hancur saya melihat beberapa
orang sudah berkumpul. Bapak itu tiba-tiba menangis ketika bertemu warga
sekitar, dan saya baru tahu bahwa bapak itu kehilangan beberapa
keluarganya. Saya hanya ingat bahwa dia mencoba tidak menunjukan
kesedihan kepada kami. kemudian kami mengantar pasien lain lagi,
diperjalanan saya bertemu dengan bayi kecil yang kehilangan ibunya.
2006
lalu menjadi cerita tersendiri, tragedi yang sekarang sudah terlupa.
Jogja bangkit, Jogja harus bangkit. itu yang mereka katakan. Bencana
tidak bisa dihindari. masa lalu memang tak bisa dihindari, namun masa
depan harus bisa kita rubah. Jogja Bangkit.
Hari ini selalu menjadi pengingat akan kejadian luar biasa 7 tahun lalu. 27 Mei 2006 akan menjadi sejarah di Jogja. Film yang kami buat sampai sekarang belum jadi, tapi pernah diedit dan menjadi draft awal.
oh ini waktu Jogja gempa dan Merapi meletus itu ya? Errrr, seperti baru kemarin, padahal sudah 7 tahun yang lalu... :)
BalasHapusayu.... melanglang buana terus. mampir ah
Hapus