Rabu, 20 Mei 2020

Indonesia, Terserah!


Seorang penjual makanan ringan sedang duduk membereskan bungkusan makanan yang terlihat masih menumpuk di meja dagangan di hadapannya. Begitu pula penjual takjil yang ada di sebelahnya. Ada beberapa pembeli yang menggunakan motor berada di sekitar kantor kecamatan itu. Tidak begitu ramai seperti tahun sebelumnya. Namun, ada satu penjual yang masih terlihat ramai dengan beberapa pembeli yang sibuk memilih makanan yang mereka cari. 

Penjual gorengan langganan saya yang berada di depan SMP 1 Wangon tetap terlihat seperti biasanya, setiap saya datang kompor mereka selalu menyala dengan minyak yang mendidih di atasnya. 

Tahun ini, Ramadan tahun ini memang Ramadan spesial dengan pagebluk Covid-19 yang ada di seluruh dunia, tidak hanya di kampung halamanku di Wangon, Banyumas. Saya sendiri tidak bisa keluar kota, sebelumnya panggilan produksi suting di Jakarta tidak bisa saya ambil. Bahkan saya tidak bisa bertemu dengan istri saya meski dia berada di Jogja. Aturan dari pemerintah yang mengharuskan membawa surat sehat, negatif covid-19, dan surat kelengkapan lainnya harus ada jika kita akan bepergian keluar kota. Tanpa itu semua sebenarnya bisa, orang Indonesia sangat bisa main belakang.

Tapi tidak untuk saya, ada yang lebih penting dari itu. Sudah lebih dari 3 bulan wabah ini menyebar dan menganggu rutinitas masyarakat. Ada yang melawan aturan ada yang taat aturan. Beberapa hari ini saya mendapati berita tentang bagaimana orang-orang tidak mempedulikan keseahatan mereka dan bahkan tidak mempedulikan gugus depan orang yang bekerja di sektor kesehatan yang sedang berusaha mengurangi wabah ini.

Indonesia, Terserah... itu kalimat yang saya dapati dari beberapa dokter dengan pakaian pelindung diri yang terlihat mengembun di bagian mukanya, karena panas jika mengenakannya. Mereka memegang tulisan 'terserah anda' terlihat memang seperti moral kita jatuh, putus asa. Sebenarnya apa yang orang-orang itu pikirkan, atau karena mau lebaran mereka tetap berdesakan di Mal-mal. membuat gugus depan seperti tidak berarti, sakit ya masuk rumah sakit. Padahal ada banyak orang yang bertugas untuk itu.

Mall yang ramai itu semoga saja mendapat hukuman. Dan, saya sendiri beberapa kali menangis ketika lewat di depan masjid yang ditutup. Beribadah kami tidak bisa di tempat itu. Apalagi di masjid yang saya sering singgah, mendapati palang bambu dengan tulisan masjid ditutup itu rasanya seperti... ah terserah. 

Saya teringat ketika sedang mengedit video untuk Trans 7 tayangan dokumenter seri tentang anak kecil yang menghafal Quran. Tepatnya di Suriah, mereka sembunyi-sembunyi untuk melakukan ibadah. Untuk beribadah mereka selalu diliputi kekhawatiran akan nyawa mereka yang bisa tiba-tiba tertimpa rudal yang sengaja dijatuhkan. 

Apa yang saya rasakan di sini, tidak lebih besar dari itu, bahkan sangat kecil. Meski saya juga jarang jamaah di masjih. tapi melihat kondisi saat ini, yang dirasakan adalah kenapa bisa seperti ini. Di Kampungku beberapa orang yang baru pulang dari kota, juga tidak mengikuti anjuran untuk karantina. Terserah sekali lagi, tapi saya selalu mencoba bilang ke keluarga di sini untuk selalu terapkan pola hidup bersih. 

Semoga tidak terjadi apa-apa, aku putar lagu Slank biar ngurangin kecemasan ini. Terserah.... terserah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita buat semua ini menyenangkan.