Tidak pernah sebelumnya bisa berada ditempat ini, melihat tempat yang pernah menjadi persinggahan jasadmu. Diiringi sepasang kupu-kupu putih aku melihat prasasti itu, berharap ada ketenangan yang engkau rasakan disana. Soe Hok Gie, aku telah datang. Namun, belum semua janji ini terpenuhi hingga pada saat hari nanti aku bisa menemukan dirimu yang lain di lembah kasih Mandalawangi.
Minggu pagi saya telah bersiap untuk bisa mengunjungi salah satu tempat yang harus dikunjungi selama di jakarta ini. Tempat pertama kali seseorang yang selama ini memberikan jawaban yang selama ini masih saya cari di semayamkan sebelum akhirnya dibongkar kembali karena penggusuran. Apakah harus setragis itu dia merasakan kegelisahan hingga tempat jasadnya pun harus berpindah. Namun karena penggusuran pada tahun 1971, menjadikan salah satu keinginan Soe Hok Gie terwujud, menyatu dengan bukit Mandalawangi. Mandalawangi merupakan salah satu lembah yang berada di gunung pangrango, Pangrango menjadi salah satu gunung favoritnya untuk melepas kepenatan yang ada di jakarta. Bersama teman-temannya ia sering berada di lembah Kasih begitu Soe menyebutnya disalah satu puisinya tentang Mandalawangi yang juga menjadi salah satu puisi Scoring film Gie karya Riri Riza.
Nisan Soe Hok Gie berada di dalam komplek museum Taman Prasasti yang ada di jalan Tanah Abang I. Tidak sulit untuk menemukan tempat bersejarah di abad 17-20 itu. Saya menuju tempat itu menggunakan transportasi Busway dan turun di halte Museum Nasional, dari museum nasional saya berjalan kaki ke utara dengan jarak kurang dari 2 km. Memang sangat melelahkan tapi patut dicoba, karena daerah tersebut begitu rindang. Ojek juga menjadi pilihan alternatif dari halte Museum Nasional untuk menuju Museum Taman Prasasti itu.
Didepan kita sudah disambut oleh beberapa tiga buah prasasti yang abstrak menurut saya ini karena saya memang tidak memahami prasasti itu, dan dua buah meriam yang didalamnya berisi sampah yang berasal dari orang kurang kerjaan. Tiket masuk ke dalam Taman Prasasti cukup murah. Dengan harga Rp. 2000, kita bisa menyaksikan prasasti yang berasal dari abad 16. Kebanyakan saya perhatikan merupakan Prasasti yang di buat oleh Belanda. Memasuki Taman pilar-pilar berjejer dengan rapi, kita seperti langsung dibawa ke abad 16 saat itu.
Inilah salah satu lintasan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia ini. Namun sayang, tidak berbeda dengan beberapa tempat vital yang ada di negeri indah ini. Tempat sejarah inipun tak luput dari tangan jahil Vandalisme. Lihatlah betapa karya monumental yang sangat berharga itu menjadi tampak seperti patung jalanan yang sering ditemui di pinggiran jalan. Ah, sudahlah untuk hal itu saya tidak mau berkomentar apalagi tidak jauh dari tempat berdiri saat itu juga terdapat beberapa kelompok orang yang dengan sengaja membuang sampah dengan sembarangan. Ditempat ini juga terdapat dua peti jenasah sang proklamator kita, sayang saya tidak sempat melihatnya langsung.
Museum Taman prasasti bisa menjadi pilihan diwaktu luang untuk menikmati kicauan burung dan rindangnya tumbuhan yang berada disitu, saking rindangnya tidak salah kalo membawa lotion anti nyamuk, karena banyak sekali nyamuk disini.
Memang dari awal tujuan saya adalah untuk mencari nisan prasasti Soe Hok Gie yang pernah di semayamkan disitu. Setelah hampir 30 menit mencari-cari akhirnya sayapun menemukannya. Lihatlah ia begitu sendirian ditemani daun-daun kering yang jatuh. Saya jadi teringat betapa Soe Hok Gie pernah menulis hanya di terangi lampu kecil dan banyak nyamuk mengganggunya, namun ia tak pernah keberatan dengan keaadan itu. Ditempat itupun nyamuk begitu banyak karena memang Taman Prasasti ini banyak sekali tumbuh-tumbuhan. Dan tempat itu tidak terawat, mungkin jika masih ada yang menyampaikan pesanmu sepertinya kamu juga tidak perlu sebuah prasasti untuk mengenalmu dengan indah dan mewah.
Saya duduk sambil memandangi Prasasti nisan itu, beberapa batang rokok saya habiskan hanya untuk mencoba lebih mengenal anak-muda yang selalu memberi inspirasi ini. Aku sedikit membayangkan bagaimana anak muda sepertinya yang mampu berteriak lantang dengan segala tindakannya menentang ketidak adilan, meski seringnya ia sendiri yang merasakan ketidak adilan.
Soe Hok Gie hari ini saya datang ke tempatmu, besok saya akan mengunjungi salah satu sahabat baikmu yang masih menyimpan beberapa puisimu. Kemudian saya juga akan mengunjungi tempat di mana abu kremasi jasadmu ditaburkan, di Mandalawangi saya akan coba lebih mengenalmu di antara bunga-bunga Edelweis di Pangrango. Sudah sangat dekat kaki ini melangkah karena semagatmu. Seperti katamu "Dunia itu seluas langkah kaki.. Jelajahi dan jangan pernah takut melangkah, hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya." ijinkan saya untuk lebih dekat denganmu. semangatmu, dan mimpimu.
betul juga gun seluas kaki melangkah bebaskan...klo bahasa sundanya kudu jarambah.. ameh nyaho..artinya harus banyak explore biar banyak tau...ajib lah gun
BalasHapusbaru ya....
BalasHapusiya gun Barutut tapi okelah kalo gebitu.. yang penting geboy
BalasHapusMane teh kudu siap atuh.
BalasHapus