Ini good mood kedua untuk menulis lagi, apa saja, kapan saja, di mana
saja. Surabaya, saya kembali lagi ke kota ini. Banyak kenangan terekam
dari salah satu kota besar di Indonesia ini. Kalau dulu naik kereta
eksekutif dengan tidak perlu beli tiket, kota inilah yang dituju. Tahun
2000 sekian, saya lupa naik kereta eksekutif cukup bayar 50.000, caranya
tidak mau saya ceritakan di sini, biar ga ditiru dan sekarang juga ga
bisa diterapkan lagi soalnya.
Tujuan kedatangan kali ini adalah untuk produksi program
dokumenter. 3 bulan yang lalu saya juga ke surabaya, sama untuk suting
profile petani. Kali ini untuk eagle institute metro tv tentang wayang
potehi. Lengkapnya nanti saya tulis lagi di blog ini, kalo mood menulis
lagi baik. Kali ini saya cuma mau cerita asal aja tentang hati ini dan
juga tentang hari ini.
Jakarta, 13 Juli 2017. Seperti biasa jalanan sepanjang
jalan Pasar Minggu di pagi hari adalah padat merayap, di tambah
pembangunan flyover Pancoran, jalanan menjadi semakin padat dan macet.
Tapi, saya dan Lutfi dengan suasana ceria melintasi jalanan iti dengan
semangat, meski akhirnya mencari jalan pintas menghindari macet pagi
itu.
Setelah sampai di pilar mas, kami cek perlengkapan suting dan
perijinan kami langsung menuju bandara Soekarno Hatta. Kami langsung
boarding, tanpa mendengarkan speaker informasi kami mengikuti orang yang
mengantri di salah gate keberangkatan. Sampai seorang staf maskapai
yang kami naiki (sebut saja city link) memeriksa boarding pass kami
"maaf mbak ini pesawat menuju denpasar". Percuma dong kami buru-buru dan
ikut mengantri. Dengan muka sedikit malu, kamipun mundur perlahan.
Memang jam penerbangan kami hampir sama dengan penerbangan menuju
denpasar. Ternyata pesawat kami tertunda, oke deh, ternyata bukan itu.
"Kupu-kupu terbang tinggi, terimakasih sudah terbang
bersama kami" awak kabin mulai berpantun khas jualan dari maskapai ini.
Lucu emang, tapi kadang garing juga sih kalo pas denger pantunnya kurang
nyambung. Sejam lebih beberapa menit kami habiskan, tanpa majalah
internal maskapai ini di kursi yang kami duduki. Hanya buku menu yang
gambarnya bikin ngiler. Dan, saya tetep ga tertarik, selain cita-cita
makan mi instan bisa terwujud jika naik maskapai ini.
Akhirnya kami membahas berapa untung yang didapat dari
jualan makanan di pesawat. Apakah awak kabin yang ikut membantu promo
mendapatkan bagiannya? Apakah semua keuntungan masuk kemana? Kok gambar
sama bentuknya beda? Ya, seperti itulah obrolan kami.
Saya suka komika Coki Anwar, kalau saat itu dia duduk di sebelah saya, mungkin dia akan menyapa begini "Selamat sore orang-orang lemah, yang suka berdiri dan rebutan mengambil barang di kabin sebelum pesawat benar-benar berhenti." ya begitulah, dan saya tidak termasuk orang yang lemah, yang buru-buru. Penerbangan kami sebentar tapi cukup mendapatkan banyak cerita.
yeay sampai juga |
Kami dijemput oleh cak Win, driver di Surabaya yang berasal dari Gresik dan punya istri orang Pati yang ketemu ketika dia bekerja di Semarang. badannya sedikit besar, sedikit terlihat seperti pendiam. Biasa orang yang baru kenal, kita lihat saja apakah nantinya dia memang pendiam atau tidak.
Kami langsung menuju ke Kampung Dukuh, lokasi kami suting, melihat klenteng Hong Tiek Hian. Kemudian langsung mencari penginapan yang cocok dan harganya sesuai budget, setelah mendatangi beberapa hotel akhrinya kami memilih Pop, selain dekat dengan lokasi kami suting dan memang sesuai budget.
Semoga mood baik dalam menulis masih berlanjut.....
Bonusnya, project terakhir saya untuk Asian Food Channel sudah nongol trailernya, jadi saya nunggu untuk melihatnya |
Weee.... Cepet banget updatenyaa..... Aku jadi pembaca pertama nih. Mbok dirapiin blognya. Ganti domain sendiri gitu.
BalasHapus