Menyinggahi kelenteng tertua di Surabaya saya merasakan
pengalaman baru. Semua itu berasal dari orang-orang di kelenteng yang saya
temui. Cerita sejarah, bencana dan harmonisasi kita sebagai manusia bercampur
menjadi pengalaman. Bersama rekan kerja, sekaligus sutradara documenter sekaligus
istri tercinta, kami menikmati satu Minggu di distrik pecinan di Surabaya.
Tujuan kami ke Surabaya kali ini adalah untuk membuat documenter
tentang wayang potehi. Wayang Potehi adalah salah satu jenis permainan wayang
yang berasal dari Tiongkok. Dan, komunitas wayang potehi terbesar saat ini ada
di Surabaya. Saya tidak akan banyak bercerita tentang wayang potehi, karena
referensi banyak terdapat di google. Yang pasti wayang potehi sekarang sudah
mengalami akulturasi budaya Indonesia.
|
Altar utama Klenteng Hong Tiek Hian |
Klenteng adalah tempat penghormatan untuk para leluhur dalam
ajaran Tri Dharma (Budha, Tao, dan Konghucu). Klenteng sendiri adalah istilah
yang diberikan kepada tempat ibadah ini, karena ketika umat sedang beribadah
terdengar bunyi klenengan berupa lonceng dan bedug.
Gemerincing dan ketukan alat music sangat peka terdengar
dari depan panggung wayang potehi di klenteng ini. Ditambah aroma dari hio atau
dupa yang terpasang di altar-altar di dalam klenteng, aroma ini menambah daya
tersendiri bagi pertunjukan wayang potehi di Klenteng Hong Tiek Hian. Itu gambaran
saya tentang wayang potehi, apalagi saya orang yang tidak terbiasa dengan aroma
hio. Boneka-boneka itu digerakan menggunakan kedua tangan, berlenggak-lenggok
di atas panggung bahkan berperang.
|
Panggung pertunjukan wayang potehi |
|
Wayang Potehi |
|
Wayang Potehi |
Kami bertemu dengan Pak Ong, nama asli beliau adalah Ong
Khing Kiong. Darinya kami mendapatkan cerita tentang wayang potehi. Menurutnya
wayang potehi bukan sekedar kesenian hiburan melainkan bagian dari ritual Tri
Dharma yang memiliki fungsi untuk edukasi, tolak bala dan permohonan.
Di klenteng tertua ini saya mendapatkan banyak makna
pelajaran, salah satunya adalah bagaimana kita bisa hidup berdampingan meski
berbeda agama. Harmonis, kata itu saya dapatkan di tempat ini. Apalagi di dekat
klenteng ini terdapat Masjid besar sunan Ampel, saya membayangkan bahwa sejak
dulu daerah ini adalah daerah yang penuh toleransi.
Jalan Dukuh, Surabaya hari itu sangat panas. Saya keluar
klenteng melihat spot-spot untuk mengambil establish shot. Di pinggir jalan
depan klenteng persis saya duduk, memandangi bangunan yang pernah terbakar pada
tahun (saya lupa ini) ” Dulu rambut saya panjang, dan jenggot juga panjang,
tapi katut pas kebakaran waktu itu”. Saya lupa entah ekpresi bahagia atau sedih
mendengar tragedy itu, tapi saya senang melihat Pak Ong hampir tertawa lepas
menceritakan jenggotnya yang pernah panjang itu. Saya masih duduk di depan
klenteng, menunggu langit tidak terlalu panas untuk mengambil beberapa gambar
|
Pak Ong |
Pak Ong kembali menceritakan cerita yang baru saya tahu juga
mengenai sejarah klenteng ini. “Itu salah, sejarah yang orang-orang tulis di
internet bahwa kelenteng Hong Tiek Hian ini dibangun sejak jaman Mongolia,
apalagi dibangun oleh tentara Tar-tar Mongolia”. Saya memang tidak terlalu tau
sejarah, apalagi sejarah kelenteng ini. Mendengar Pak Ong bercerita dengan raut
muka yang marah, ya dia terlihat emosi, karena kebenaran sejarah tidak
sebenarnya. Jadi bagi yang mau menulis sejarah klenteng ini alangkah lebih baik
jika mengetahui literasi tentang sejarah klenteng ini, jangan copy-paste
tulisan orang.
Kelenteng Dukuh adalah tempat ibadah umat Tri Dharma (Budha,
Tao, dan Konghucu) kelenteng ini dekat dengan jembatan merah dan juga pasar
Atom Surabaya. Ditambah dengan pertunjukan wayang potehi yang setiap hari
digelar, bisa menjadi tujuan wisata traveler. Dan, rasakan pengalamanmu di
sana, rasakan harmoninya.
|
Di Balik Layar produksi dokumenter wayang potehi bersama pak Dalang Edi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita buat semua ini menyenangkan.