Jumat, 04 Juli 2008

Orang-orang Gunung Tugel

Bau tidak sedap selalu setia menyambut kita bila berada di komplek pembuangan sampah tertua di Purwokerto ini, Gunung Tugel merupakan tempat dimana sampah dari seluruh daerah di Purwokerto akan berakhir. Di tempat itu terdapat sekitar puluhan pemulung yang setiap hari mengkais-kais sampah di tempat yang berada dilereng perbukitan Tugel.

Ada banyak cerita dibalik keringat dan aroma sampah yang bisa saya dapati. Dari ibu yang bisa menyekolahkan anaknya hingga lulus, sampai pada orang yang sengaja datang mencari makanan bekas, sekedar untuk mencari harapan hidup.

Terlihat senyum ramah dari mereka ketika melihat orang asing yang datang ke tempat pembuangan sampah itu. Saya melangkahkan kaki menuju ke tengah gundukan sampah-sampah itu. awalnya perasaan jijik saya dapatkan, sempat berpikir juga apa yang sebenarnya saya cari ditempat seperti ini. Tapi ini bukan tentang itu semua, mereka yang akhirnya bisa membawaku mencari sedikit realitas yang akan tercatat dalam hidupku.

Saya melihat beberapa anak kecil yang seharusnya memegang buku tulis dan pensil, namun disana mereka memegang garu untuk mengais sampah dan menyanyikan lagu bintang kecil diiringi alunan musik dari sang lalat yang setia memberikan harmoni melalui sayap-sayapnya. Mereka seharusnya bermain dengan teman sekolahnya saat itu, bukan bermain dengan para lalat yang berpenyakit, namun nampaknya lalat lebih bersahabat dengan mereka.

Ibu tua terlihat sedang mengais-ngais tanah untuk mencari logam-logam bekas yang sudah tertimbun, ditemani seorang teman mereka berdua dengan teliti mencari sebuah logam kecil untuk kemudian dikumpulkan lalu dijual. Tak bisa kubayangkan berada diposisi mereka. Dia menatapku, Mas berada di tempat seperti ini tidak perlu nahan napas atau menutup lubang hidung, itu malah mengganggu pernapasan. Memang benar beberapa menit ditempat pembuangan sampah Gunung Tugel saya sempat muntah karena sara mual yang ditahan. Namun sedikit adaptasi akan memberikan rasa nyaman meski dipaksakan untuk menahan aroma tidak sedap itu.

Begitu banyak cerita yang bisa kita lihat dari keseharian mereka, dengan bersenjatakan sebuah tongkat garu ditangan kanannya serta keranjang ditangan kirinya serta pengki, mereka siap untuk mencari beberapa sampah-sampah yang akan mereka rebuti dari truk sampah yang datang. Biarpun saat itu matahari tidak begitu bersabat dengan memberikan sinar panasnya, orang-orang Gunung Tugel tetap semangat untuk melanjutkan yang mereka sebut sebagai pekerjaan. Sebuah rutinitas untuk mencukupi kehidupan mereka.

Terkadang mereka dipandang sebelah mata oleh kita, padahal tanpa mereka sampah-sampah itu bisa menumpuk melebihi tingginya gunung Tugel. Namun berkat mereka inilah sampah yang tadinya tidak berguna bisa menjadi berguna kembali setelah mereka mengaisnya satu demi satu. memilah dan memilih yang organik dan non-organik.

Keseharian mereka sebenarnya sama dengan rutinitas kita, mungkin yang membedakan adalah tempat dimana masing-masing melakukannya. Kalau saja mereka bisa mendapat kesempatan seperti apa yang bisa kita rasakan. Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta(Soe Hok Gie).

Dengan berdasar pada naluri untuk merasakan apa yang mereka rasakan, saya mencoba mengambil sedikit dari kisah keseharian mereka. Dengan rasa terima kasih saya ucapkan untuk semua teman, sahabat pemulung di Gunung Tugel. Semoga dengan ini keresahan yang dirasakan bisa mendapat sedikit perhatian.

Terima kasih buat seorang teman dan guru yang baik, Mbak Lina Global Radio Jogja yang mau menemani ke tempat ini. @2008