Minggu, 05 Agustus 2012

Ketika Jogja nyatakan Cinta

Ini entah ditulis pada bulan berapa, namun yang jelas sepertinya ini ditulis setelah berada di Jakarta. Mengenai kerinduan untuk Jogja, tempat dimana semuanya berawal yang akan selalu menjadi pengantar kenikmatan untuk bercerita. tertulis disana ada cerita temen kost ESTU, nanti kita pasti akan bertemu kembali.


Seindah-indah Jakarta lebih indah Jogja. namun berbeda ketika saya meninggalkan Jogja, ada perasaan seperti meninggalkan sebuah rumah yang penuh dengan kesenangan. Seperti meninggalkan harapan yang ingin dirasakan disana. jogja, sebegitukah arti bagi sebagian orang yang pernah tinggal disana. Padahal, kota itu bukan tempat dimana saya dilahirkan, itu hanya tempat saya pernah belajar, bahkan tempat yang secara terpaksa menjadi tempat untuk belajar, karena memang tidak ada pilihan yang lain.

Jogja mengantarkan saya kepada titik dimana sebuah kerinduan itu datang. Kerinduan tentang sebuah tempat yang harus selalu disinggahi, tempat dimana setiap harapan akan selalu dibawa. Sudut-sudut kampung yang pernah saya singgahi, obrolan bersama warga, teman, untuk berkarya bersama, dan saya secara tidak sadar selalu membutuhkan itu semua. Aroma kehangatan dalam setiap obrolan pada sebuah warung kopi, hemmm saya pikir saya membutuhkan itu semua, karena itu yang selalu menginspirasi saya.

Ditengah ramainya Jakarta saya merindukan ramainya Jogja.

Saya ingat ketika seorang teman bilang pada saya bahwa, kalo lapar nempel aja bareng kawanmu di ujung jalan, tak susah nemuin gerobak angkringan itu. Bawa uang berapa, secukupnya aja, soalnya bisa unlimited keluar uangnya, semua makanan bakan bikin ngiler sepanjang kita ngobrolin ini-itu. 

Berapa pak, "pitungewu mangatus, pitungewu ae mas, ra ana jujule." (7500 rupiah, 7000 saja mas gak ada kembaliannya. Saya teringat kejadian yang sering terulang jika berada di angkringan. Bagi saya angkringan tidak semurah yang orang sering katakan, nasi cuma serebu bahkan ada yang 700 rupiah. Itulah cara Jogja nyatakan Cinta. Angkringan, di angkringan kita bisa ngobrol apapun.dari ngobrol sama tukang becak sampai doktorandus bahkan propesor pernah saya alamin. Sempat bingung juga angkringan yang sangat terkenal di Jogja ternyata kalau ditelusuri lebih lanjut kebanyakan penjual angkringan itu rata-rata berasal dari luar kota Jogja, kebanyakan mereka berasal dari kecamatan Mbayat, Klaten ato WOnosari(sering orang bilang wonosari sanes Jogja mas). Paling tidak angkringan bisa nggambarin bentuk kebudayan Djawa yaitu nongkrong, lesehan makan bareng sambil membicarakan sesuatu yang sedang hangat. Jadi kalau mau ngrasain cintanya Jogja ya mampir ke Angkringan, yang terkenal ada Angkringan kopi Jos Lik Min yang ada di deket Stasiun Tugu, tapi kalau mau yang bener-bener Jogja mampir aja angkringan yang ada di sudut-sudut kota jogja, akan ada bedanya. Inilah salah satu cinta yang ditawarkan Jogja, ah saya jatuh cinta dengan kota ini.

Jalan sore-sore enaknya kemana Gun. Saya jawab, mau jalan kaki, naik sepeda, motor, mbecak ato naik odong-odong. Saya sarinin yang pertama "jalan kaki." Cara Jogja nyatakan yang lain adalah dengan berjalan kaki kita bisa ikut bercinta dengan Jogja. Mau start dari mana silahkan, asalkan jangan lupa nengok kanan-kiri sebelum nyebrang sekarang banyak sekali motor yang 'pethakilan (pecicilan(ngebut pake motor = bahasa indonesia)) bisa-bisa keserempet. Kalau jalan kaki, kita bisa nyoba yang namanya unggah-ungguh tata cara wong Djowo. misalnya kalau kita lewat didepan orang, apalagi orang tua. Alangkah baiknya kita mengucap salam lebih dulu, dan lihatlah kalau perlu rekam pake kamera, orang tua tersebut pasti akan membalas salam kita, monggo... 

Banyak orang mengatakan Jogja ini begini jogja ini begitu, apapun yang dikatakan orang tentang Jogja, bagi saya Jogja adalah jogja dengan segala keistimewaannya serta ketidak-istimewaannya, dan dengan segala cintanya, segala kerinduannya. Paling sedih adalah ketika mendapat pesan singkat dari teman yang berada di Jogja, sebuah pesan singkat yang selalu bikin enek hati. "Gun, ning endi kowe?" harus dijawab bagaimana, padahal pertanyaan seperti itu tidak saya inginkan. Bukan soal dimana saya berada dimana, tapi ketika saya harus ada bersama mereka. Saya disini kawan, saat ini, berada di angkringan depan kost atau sedang sepedahan keliling taman sari. Mungkin terlalu absurd pandangan saya tentang Jogja. 

Menikmati Jogja dari pagi sampai malam, kebangetan saya ya, seperti tidak punya kerjaan saja. Memang benar kata salah satu brand kaos ternama di Jogja yang tertempel pada design kaosnya bahwa everyday in Jogja is Holiday. Rutinitas di Jogja yang tidak banyak membutuhkan kecepatan waktu membuat Jogja seperti kota yang lambat. Orang-orang bersantai dipinggiran jalannya, bermain catur, menghabiskan waktu senggangnya setelah bekerja. Dan yang pasti Jogja gak matre, gak perlu mewah kalo mau ngrasain Jogja. 

Hujan deras yang mengguyur jogja sore ini mengantarkanku pada cerita mengenai sebuah cita-cita. saat itu di depan kos Sorosutan, seorang teman menunggu. Gojegan khas temen-temen membuat perjalanan yang singkat menjadi tambah singkat dari Sorosutan menuju kali Code. Seperti biasa, kami harus mencari tempat yang kosong sekaligus nyaman untuk sekedar berbagi cerita di pinggiran kali Code. Ada satu tempat kosong, tepat di pinggiran kali COde, sangat pas menurut saya. Namun kami akhirnya pindah karena tempat yang awalnya kami tempati tidak cukup menampung rombongan si Berat yang ketawa-ketiwi sepanjang malam itu. 

Kami menceritakan tentang kebencian, cinta dan juga masa depan. Entah sudah berapa kali code menjadi tempat sekaligus teman setia bagi kami. Saya selalu teringat soal rencana yang pernah sama-sama kami bicarakan ataupun mengingat setiap kejadian yang membuat kami merasa bersalah, itu semua pernah ada di pinggiran kali code. Jogja telah mengikatku dengan caranya sendiri. 






Bersama seorang kawan bercerita tentang Jogja yang sama-sama memiliki cerita tersendiri dengan angka 7, ya Jogja menjadikan angka 7 menjadi angka untuk selalu mengenang hari lahirnya kerajaan di tengah republik ini. Teringat sebuah pesan unik "Jogja itu berhati nyaman!" yang artinya kalau diplesetin menjadi "Kalau berhati-hati akan merasa nyaman!" yup, memang selalu berhati-hati sepertinya dimanapun kita berada, bahkan Jogjapun tak luput dari kejadian yang membuat orang selalu berhati-hati. Sering saya dengar beberapa wisatawan yang secara dipaksa untuk membeli cinderamata yang sebenarnya tidak mereka butuhkan atau mendapati kabar bahwa seorang wisatawan kena palak di jalan. Kalau mendengar cerita seperti itu saya sendiri gemang, ingin rasanya bilang bahwa ini Jogja bung, salah tempat jika ingin membuat tidak nyaman. Makanya saya juga selalu berpesan kepada seorang teman, bahwa senyaman-nyamannya sebuah kota, sebuah tempat adalah jika kita tahu dimana tempat kita berdiri. Jika sudah tau itu kenyamanan itu akan datang sendiri. Taulah Jogja kota yang nyaman karena orangnya ramah, ketika ada orang datang kemudian terkesan tidak ramah sepertinya itu salah sendiri. bener katanya bang napi bahwa kita harus selalu waspadalah, waspadalah.

Sore di Lempuyangan, saya sering mengisi sunyinya pergantian antara sore yang menjadi malam. Memandang langit jogja yang memerah kemudian berganti kelam. Saat ini ruang publik di Jogja terkesan menjadi sempit, nyore yang bagi orang Jogja merupakan rutinitas melepas lelah bersama keluarga menjadikan Jogja membutuhkah ruang publik untuk warganya. Stasiun Lempuyangan menjadi salah satu pilihan bagi beberapa warga yang ingin nyore. si bawah jembatang layang Lempuyangan disisi utara rel stasiun lempuyangan menjadi pilihan yang murah sekaligus menyenangkan. Saya suka berada disini, dari awal saya suka nongkrong baik sendiri maupun bersama teman yang tertarik dengan apa yang pernah saya ceritakan. Dulu belum ada tukang parkir yang memanfaatkan lahan karena banyak warga yang banyak berdatangan kesini, sekarang ada tukang parkir tanpa seragam yang menurut saya sedikit membantu untuk menertibkan motor yang kadang parkir sembarangan, ada sedikit pula yang menyayangkan kenapa harus selalu ada tukang parkir di setiap sudut kota ini. Ada angkringan sampai odong-odong, itu terakhir saya melihat ramainya lempuyangan sore itu. 

Ada sedikit cerita yang pernah membuat teman saya penasaran. Dulu di tahun 2006 saya membuat sebuah project dokumenter tentang kehidupan malam di kota Jogja, mengawali riset dari Lempuyangan tempat gelandangan yang sering berkumpul dan saya menjadi bagian kecil dari mereka. perubahan yang sangat drastis di bawah jembatan Lempuyangan, setengah jam sebelumnya saya berada disini dengan derai tawa anak-anak yang sangat bahagia melihat kereta yang lewat, mereka melambaikan tangan kepada setiap kereta yang lewat sedangkan orang tua mereka memegang erat tubuh kecil anak mereka. setengah jam kemudian mereka meninggalkan lempuyangan karena hari sudah terlalu gelap, para pedagangpun sudah beranjak dari tempat itu karena sudah tidak ada pengunjung ruang publik mendadak itu. Tanpa laumpu penerangan yang terang dibawah jembatan itu menjadi seperti tempat yang sangat pas untuk para orang malam berada disana.Langit Jogja telah berubah menjadi hitam kelam saat itu, seorang dengan rok mini berjalan diantara rel, ia berjalan dari gudang material ujung stasiun, terlihat ia membenarkan roknya yang terlalu kecil untuknya. Saya pikir ia secara terpaksa memakainya, itu hanya sekedar menarik perhatian orang yang melihatnya dan saya menjadi salah satu korban dari rok mininya itu sebelum saya sadar bahwa yang saya lihat itu adalah waria.

Memang dulu terkenal waria yang suka berada disana, kemudian muncul ke pinggir jalanan ketika malam mulai menjelang. satu dua orang malam sudah mulai muncul, saya masih sendiri berada di pinggiran rel sambil sesekali celingukan mencari alasan tepat ngapain saya berada disini. di sebelah saya beberapa gelandangan sudah mulai merapikan alas tidur mereka, beratapan langit malam dengan bintang yang mungkin akan membuat mereka berkhayal tentang impiannya sendiri. Mungkin sekarang suasana sudah berubah, orang-orang malam itu sudah jarang terlihat. Lempuyangan memberi kenangan tersendiri bagi saya, dimana akhirnya saya mengenal sosok orang yang saat ini menjadi salah satu ketua yayasan bagi waria ODHA, Mami Vin, sosok orang yang bagi saya seorang pahlawan, seorang yang mengorbankan jiwa raganya untuk saudaranya sendiri, sebuah cinta yang dianugerahkan untuknya kemudian ia berikan untuk mereka yang membutuhkannya. Ah, Jogja memang selalu penuh dengan cinta.

Aku biarkan udara pagi masuk melalui jendela kamar kost yang pengap karena asap rokok sedari malam, hari itu saya sudah membuat janji untuk mendatangi laut wonosari, sendiri dengan harapan mendapatkan sesuatu yang istimewa.Tapi, kapan? saya merindukan birunya laut Wonosari.

bersambung.......

Sulit rasanya untuk sekedar mengingat cerita tentang Jogja, membaca tulisan temen-temen tentang Jogja yang katanya istimewa dan ternyata memang istimewa membuat saya ingin pulang kesana. Kembali merasakan cinta yang selalu tumbuh. Sudah sangat malam disini, Jakarta tak menyisakan waktu bagi seorang seperti saya saat ini, saya tak mau mengingat lagi cerita tentang Jogja, yang harus saya lakukan adalah pulang untuk kembali merasakan cintanya.

-masih bersambung,.....