Rabu, 14 Oktober 2015

Setelah 6 Tahun dengan Segelas Kopi

Sebuah lantunan Akulah Si Telaga membuka malam itu dengan harapan beberapa lagu kemudian adalah musikalisasi yang ingin selalu saya dengar dari AriReda. Lagu demi lagu, celotehan demi celotehan, dari dua orang yang sama setelah 6 tahun berlalu dengan waktu yang berbeda tapi suara dan musik dari mereka tak pernah berubah. Dalam segelas kopi, saya yang kali ini ditemani istri tercinta menikmati kembali dua idola ini, AriReda. inilah cerita setelah 6 tahun yang lalu menikmati lantunannya, kenangan seakan kembali lagi.

a simple gig at coffee war

Penantian panjang akhirnya berakhir di sebuah tempat tongkrongan menarik di Kemang timur, jakarta selatan. Coffee War menjadi gig dua orang yang begitu saya sukai. Kami berdua datang sebelum petikan mas Ari Malibu dimulai. Mencari tiap bangunan di jalan kemang timur untuk menemukan CoffeWar dengan harapan mendapatkan tempat duduk di tengah.

Kami akhirnya menemukan coffee war yang sudah ramai dengan pengunjungnya. Tempat baru yang membuat nyaman begitu kami datang. Satu meja kosong masih tersisa di halaman depan, mengarah ke samping panggung yang telah disiapkan. Kami duduk setelah sebelumnya bertanya dengan seseorang yang sudah menempati duluan. pikiran pertama adalah, saya mungkin akan sangat terganggu dengan deru kendaraan di belakang.

Kami mengenalnya dengan nama mbak Deta. Darinya kami mendapatkan informasi tentang tempat baru yang kami datangi ini. "Itu yang punya, namanya Yogi. Yang pakai topi. Kalau mau pesen bisa tinggal teriak, tapi belum ada makanan di sini, bisa beli diluar kok" mbak Deta, seorang dosen film yang baik hati, semoga bisa ketemu lagi :)

Darinya kami dapat informasi kalau di tempat ini sering diadakan pertunjukan musik. Obrolan kami tentang band, musik semakin seru setelah kedatangan pengunjung lain, seorang lelaki berkaos merah, gondrong, menggunakan kacamata, dan saya lupa namanya. Yang jelas, kami semua menunggu alunan suara mbak reda dengan petikan gitar mas ari di depan kami.

30 tahun bukan waktu yang singkat. Itu merupakan waktu panjang dalam bermain musik dari kedua musisi ini. Berawal dari ingin lebih mengenalkan sastra melalui bentuk seni yang lain. Arireda kemudian menyatu, berharmoni menjadi duo yang akhirnya saya idolakan. Tentunya selama 30 tahun itu semuanya tidak berjalan dengan mulus. Bersama orang-orang terbaik yang selalu ada di sekeliling mereka, hingga membuat saya masih bisa menikmati, mendengarkan, merasakan apa yang mereka ciptakan. Setelah enam tahun, bersama segelas kopi, saya kembali terhipnotis oleh mereka. Dan, selalu dengan cara yang sederhana tapi begitu penuh makna.

siapapun bisa tersihir oleh mereka, perpaduan sastra dan musik
Lagu demi lagu saya nikmati. Beberapa bagian tubuh saya tak bisa berhenti mengikuti setiap irama. Tubuhku bergoyang, jariku bergoyang, dan hatiku sepertinya ikut bergoyang.setiap lagu dengan prolognya sebelum dimainkan oleh mereka. Untuk teman- teman mereka, untuk yang malam itu datang ke coffee war.

Saya mendapati lirik lagu ini dengan cukup tegas ketika mereka membawakannya, seluruh panca indera saya dengan sepakat menangkap ketika lirik ini muncul "Tuhan kenapa kita bisa bahagia?" Seperti itulah perasaan saya yang juga dituliskan oleh pak Gunawan Mohamad dalam puisi Dingin tak tercatat yang menjadi bagian di album baru Arireda. Ya, saya berbahagia malam itu.

Segelas kopi yang berasal dari daerah yang keren dari timur indonesia tinggal tersisa ampas. Gelas plastik yang beberapa menit sebelumnya sangat berarti berubah menjadi asbak. Rasa asam masih melekat, jauh dari flores, bajawa, semoga tangan cantik para petani tetap menciptakan rasa seperti ini. Meski dalam gelas stereofoam, rasamu tetep ada. Terima kasih telah menambah rasa di malam itu.


Baba beruang diajak beribadah kebudayaan melalui musik :)
Kami bernyanyi bersama, berdoa bersama dalam sebuah lagu. Sebuah tragedi di lumajang. Sebuah pesan dari Salim Kancil ikut terbawa malam itu. Saya baru mendengar lagu itu, bahkan tidak pernah tau. He is My Brother, begitu menghentak seperti kisah Salim  menjadi korban agar yang lain menjadi lebih baik. Amin.

Akhirnya malam itu kami mendapat bonus perform dari Bonita dan mas adoy(kurang lengkap husBandnya) yang bisa dilihat langsung dari depan kami. Terima kasih malam itu. Untuk rasa bahagia dari setiap lagu yang seakan menjadi doa. ketika kami harus pulang sebelum acara berakhir, sedikit lelah setelah melakukan perjalanan panjang, tapi Tuhan selalu baik dengan memberikan imbalan yang nyata malam itu. Semoga tidak perlu menunggu 6 tahun untuk bisa menikmati musik mereka lagi.

Selalu begitu, nampak ekspresi mereka bingung dengan playlist yang sudah mereka susun. karena malam itu bukan hanya milik mereka.





ini 6 tahun yang lalu ketika kami dipertemukan di Rumah Budaya Tembi.

Senin, 12 Oktober 2015

Cerita Qurban dari ketinggian: KPAWW


September 25, 2015. Suara deru mesin truk perlahan terdengar semakin mendengung di setiap tanjakan berbatu yang dilalui. Para penumpang di atas truk terbuka bergoyang seiring jalan yang dilalui. Waktu menunjukan pukul 1 dini hari. Ditemani sinar bulan yang terlihat menawan dari balik batang pohon sengon, sekelompok orang yang bisa disebut para pecinta alam akan melakukan perjalanan bukan untuk mendaki gunung atau kegiatan luar ruang lainnya.

Di sela perjalanan berbatu di atas truk yang bergoyang, tercipta candaan dari mereka. Ada yang baru kenal, ada yang kenal lama namun baru bertemu kembali. Mereka menyatu di dini hari yang mulai dingin di ketinggian menuju sebuah kampung kecil di pelosok kabupaten Bogor.

Tujuan mereka hanya satu, berbagi di ketinggian dengan berkurban di daerah yang terpencil. Kemunitas Pecinta Alam Warna-warni, begitu mereka menyebutnya. Ada kebanggaan memang ketika menyebut nama komunitas tersebut. Selain melakukan kegiatan alam bebas, komunitas ini bisa bersama untuk kegiatan sosial yang sering mereka lakukan. Berawal dari kegiatan yang mereka sukai yaitu hiking, mereka diketemukan dari bermacam-macam profesi.

Hawa dingin mulai terasa, hampir satu jam lebih kami seperti digoncang, namun belum tampak tanda-tanda bahwa lokasi tujuan sudah dekat. Dari cerita pak Abdurahman bahwa desa tempat dia tinggal hanya berjarak tidak lebih dari 10 km. Dengan jalanan yang kami lalui memang tidak mudah menempuh 10 km dengan cepat. Canda tawa, guyonan menemani roller coaster ala truk muatan ini.

Kami sudah disediakan tempat untuk beristirahat untuk aktifitas besok di rumah pak Abdurahman. Lelaki istirahat di luar rumah, di teras. Sedangkan perempuan di dalam. Pukul 3 lebih kami baru sampai ke kampung Cibuntu - Cioray. Dan kamipun terlelap setelah melakukan perjalanan yang tak terduga di atas truk.

Ini kegiatan berkurban kedua yang dilakukan KPAW. Dengan total 14 kambing yang berhasil dikumpulkan dari pekurban yang mempercayakan qurbannya untuk di daerah yang memang lebih membutuhkan.

Suasana gotong royong dari warga kampung yang membantu proses penyembelihan dan keramaian ibu-ibu beserta anak-anak balitanya yang tidak sekolah menjadi pemandangan yang menyenangkan. Dengan pisau-pisau yang tajam mereka mulai membelah, mencacah daging-daging tersebut.

Pembagian berjalan lancar. Semua warga mendapat bagiannya masing-masing. Bahkan anak-anak juga mendapat bagiannya untuk disate bersama kawan-kawannya.

Menyenangkan sekali bisa berada di tempat seperti ini. Bersama mereka yang membagi kebahagiaan kepada orang lain. Bersama mereka yang mau meluangkan waktu untuk kegiatan seperti ini. Tidak ada yang tidak berguna dari diri kita, dan akhirnya saya sendiri bisa merasakan bahwa kami pulang dengan sebuah makna dari desa kecil di pelosok kabupaten Bogor.
semoga selalu diberi keberkahan

14 qurban

indahnya berbagi


kita harus terus berbahagia

si pitung tukang jagal

potong dulu
pic dari facebook kak Rudy & kak Mala