Senin, 27 Mei 2013

Tujuh tahun lalu di Jogja

Suatu hari di sebuah kota yang penuh dengan kedamaian. tempat dimana pemuda-pemudinya suka berkarya, tempat dimana kesopanan menjadi modal untuk bisa hidup di era yang katanya semakin modern. namun kota ini masih dengan tradisi sopan santun yang melekat. Saat itu puluhan pemuda yang berlabel mahasiswa sedang melakukan produksi film pendek sebagai syarat untuk kelulusan mata kuliah dari dosen yang baik hati dan tidak sombong. Sebut saja rombongan tim A yang membuat film pendek mengenai pemuda galau yang mengidap penyakit dan akan meninggal (di script ceritanya begitu sebenarnya: karena saya yang nulis naskahnya :) Kami akhirnya suting dan kelar, bermodal kamera yang masih pake kaset vhs dan seorang lightingman yang baru keluar magang dari belantara jakarta kami menyelesaikan tugas akhir tersebut.

Malam saat itu tim post produksi sudah berkumpul bersiap untuk edit film pendek. berlokasi di tempat Rohman yang paling memiliki alat-alat canggih waktu itu saya bertolak menuju rumahnya. Berangkat dengan Itok biasa dipanggil suprapto meminjam motor Ronny. malam itu kami bersenang-senang sambil mendengar obrolan Rohman yang emang banyak bicara.

Malam berlalu, jam berlalu waktu itu kami hampir terlelap. Pagi disaat masih terlelap, tiba-tiba kota yang damai itu berguncang hebat. Suara teriakan, takbir untuk Tuhan Yang Maha Esa terdengar jelas. suara teriakan orang minta tolong membangunkan kami.

Ingatan saya masih ingat ketika terlihat Itok memegang LCD besar milik rohman, namun benda-benda yang lain disekitar itu ikut berjatuhan karena goncangan hebat. Setelah berhenti kami keluar, tak ada waktu itu pikiran menghindar jika rumah itu rubuh. Setelah keluar gempa susulan masih terasa sangat besar, bangunan masih bergoyang, tembok rubuh. Seorang kakek yang minta tolong saya angkat dari depan rumah rohman. Dia, kesakitan tertimpa atap rumahnya.

Saya menaruh kakek itu dihalaman yang aman, kemudian melihat sekeliling dimana terlihat rumah-rumah yang hancur. teriakan, tangisan semakin kencang. saya meninggalkan kakek itu setelah beberapa orang menghampiri. ada yang jelas teringat ketika seorang ibu menanyakan anaknya, kemudian yang lain menjawab masih didalam rumah. ia kembali histeris. di tempat Rohman di Gowok memang termasuk daerah yang terkena dampak gempa itu.

Saya kembali ke rumah Rohman, ternyata rumah kakak rohman yang terletak dibelakang kamar sudah rata dengan tanah. Ponakannya duduk terdiam diatas reruntuhan rumah itu. kami berteriak agar ia pergi dari situ takut ada gempa susulan. setelah itu saya dan itok berniat kembali ke kontrakan. motor ga ada, kami cari ternyata tertimbun rumah kakak rohman.

Dijalan terlihat muka-muka dengan ekspresi sedih, muka kotor berdebu. hari itu saya masih bisa menahan tangis saya, melihat kesedihan dimana-mana. sampai di kontrakan, temen-temen sudah pada diluar. kontrakan kami ikut hancur, atap sudah rusak, genting sudah pada hancur.

Satu lagi, disaat kami warga berkumpul terdengar teriakan dari selatan yang bilang akan ada Tsunami,spontan orang-orang ikut berlari ke utara. semuanya, berlari. Saya pasrah, bila saatnya tiba ya mungkin bukan begini caranya. hanya keluarga dirumah yang saya ingat waktu itu. saya beranikan diri masuk ke kamar dalam kondisi gempa susulan. hanya mengambil foto keluarga, dalam hati saya berujar mungkin jika terjadi apa-apa foto ini akan menjadi alat pengenal.

Mereka berlari, berjalan, menangis, mencari anaknya yang terpisah. waktu itu yang saya ingat adalah ketika seorang nenek yang berjalan aja susah masih berusaha menuju selatan. ingin sekali sebenarnya menggendong nenek itu. tapi ini sudah suratan jika saja memang terjadi tsunami.

Orang semakin banyak berlari menuju utara menghindari isu tsunami. saya masih berada di depan kontrakan, berkumpul bersama beberapa warga yang tidak berlari sambil mendengarkan radio informasi.

Sepertinya tak ada habisnya mengingat bercerita kisah memilulan ini, tapi semua sudah kambali normal. setelah gempa saya ikut menjadi volunteer di rumah sakit Sarjito beberapa minggu, sampai kondisi hampir normal. ada satu kalimat yang saya ingat dari korban gempa waktu itu, pas saya mengantar bapak itu menuju rumah didalam ambulan dia bilang untung saja kaki kanan saya masih utuh. inilah jogja, saya lihat bapak itu masih tegar selama perjalanan. sampai dirumahnya yang sudah hancur saya melihat beberapa orang sudah berkumpul. Bapak itu tiba-tiba menangis ketika bertemu warga sekitar, dan saya baru tahu bahwa bapak itu kehilangan beberapa keluarganya. Saya hanya ingat bahwa dia mencoba tidak menunjukan kesedihan kepada kami. kemudian kami mengantar pasien lain lagi, diperjalanan saya bertemu dengan bayi kecil yang kehilangan ibunya.

2006 lalu menjadi cerita tersendiri, tragedi yang sekarang sudah terlupa. Jogja bangkit, Jogja harus bangkit. itu yang mereka katakan. Bencana tidak bisa dihindari. masa lalu memang tak bisa dihindari, namun masa depan harus bisa kita rubah. Jogja Bangkit.

Hari ini selalu menjadi pengingat akan kejadian luar biasa 7 tahun lalu. 27 Mei 2006 akan menjadi sejarah di Jogja. Film yang kami buat sampai sekarang belum jadi, tapi pernah diedit dan menjadi draft awal.