Sabtu, 28 Juni 2008

JiFFest Script Development Competition (JSDC) 2008

Setelah sukses di tahun-tahun sebelumnya, JiFFest kembali menggelar workshop pengembangan naskah film dalam JiFFest Script Development Competition (JSDC) 2008. Acara ini diadakan untuk mengembangkan dan meningkatkan kapasitas para penulis naskah film Indonesia demi kemajuan dan kesuksesan perfilman Indonesia. Peserta workshop ini dipilih dari para pelaku film profesional atau mereka yang sudah memiliki pengalaman dalam proses produksi film. Workshop ini diselenggarakan secara gratis untuk para peserta terpilih.



Akan ada 3 jenis workshop yang kesemuanya bersifat praktis. Ini berarti para peserta harus mendaftarkan diri dengan mengirimkan sinopsis atau naskah lengkap sesuai dengan kriteria masing-masing workshop.

Workshop akan berlangsung selama 5 hari dan dipandu oleh para tutor yang merupakan pelaku dunia perfilman internasional.



Ketiga workshop tersebut adalah:

1. Workshop Pengembangan Naskah Film Cerita Pendek

2. Workshop Pengembangan Naskah Film Cerita Panjang

3. Workshop Pengembangan Naskah Film Dokumenter



Batas akhir pengiriman pendaftaran: 22 September 2008, pukul 20:00 WIB.



Komite seleksi akan memilih maksimal 10 ide cerita terbaik di setiap kategori. Para penulis dari setiap ide cerita terpilih akan diundang untuk menghadiri workshop selama lima hari yang akan diadakan selama JiFFest ke-10 (5-14 Desember 2008). Seluruh kegiatan workshop akan dipandu dalam Bahasa Inggris oleh para tutor pelaku industri perfilman profesional dari luar negeri. Akan disediakan penerjemah bagi mereka yang membutuhkan.



Perincian kegiatan workshop adalah:

• Hari 1-5: Workshop

• Hari 6-7: Peserta menulis ulang sinopsis/naskah mereka

• Hari 8: Presentasi sinopsis/naskah di hadapan para dewan juri

• Hari 9: Pengumuman pemenang pada malam penutupan JiFFest 2008.

Informasi lengkap klik disini

Empat Points menjadi Profesional TV/Filmmaker

Sebagai seorang profesional Video maker atau Filmmaker, kita seringkali harus bekerjasama dengan berbagai profesional lain (kru, DOP, Produser, Sutradara, Penulis Skenario,Penata Artistik, dll) dalam proyek dan produksi yang berbeda-beda. Dan keberagaman ini sangat penting untuk tetap menumbuhkan kreativitas seni visual yang "Fresh" dan "Different" sehingga hasil akhirpun menjadi sebuah karya yang sesuai dengan production design yang diinginkan. Untuk itu, bila anda ingin maju, sebaiknya hindari bekerjasama dengan tim langganan yang itu-itu saja. Atau bila sudah ada tim yang solid, cobalah bereksplorasi dengan profesional lain untuk mendapatkan penciptaan-pencipta an baru. Steven Spielberg saja, tidak pernah mempunyai langganan tim produksi yang solid.
Bahkan dalam karyanya Schinder List, Spielberg justru bekerjasama dengan profesional
dokumentaris yang kuat dalam produksi dokumenter.. ..

Kunci utama keberhasilan sebagai seorang profesional ada Empat Points:

1. Skill
2. Network
3. TeamWork
4. Etika

Skill, ini persyaratan utama. Anda wajib menguasai skill dalam bidang profesi anda baikuntuk teknis maupun non teknis. Biasanya Skill bisa dipelajari di berbagai sekolahTV/Film, bisa juga dengan berguru pada para senior dan mencari pengalaman.Sedangka n Networking dibutuhkan agar anda masuk ke dalam jaringan industri yang mengakui skill anda. Kalau sudah mendapatkan Network maka yang diuji adalah kemampuan anda untuk Team Work dengan tim produksi yang selalu berbeda, bukan hanya dengan orang yang itu-itu saja. Kalau anda tidak dapat bekerjasama dengan orang lain, maka Networking ini akan terhenti dengan sendirinya. Dan anda tidak diakui lagi sebagai seorang Profesional. Yang terakhir adalah Etika! nah ini sering dilupakan oleh para tv maker/filmmaker instant yang terburu-buru ingin segera tampil sebagai profesional. Etika ini tumbuh dari bawah, bila anda memulai karir anda sebagai seorang asisten produksi atau kru unit atau kru lighting dsb maka anda akan merasakan bekerja sebagai kru dilapangan. Ini akan menumbuhkan rasa solidaritas dan etika ketika anda menjadi profesional. Bila tidak, anda akan terbuang dari industri hanya karena tidak punya etika yang baik. Etika ini juga termasuk dengan tata cara bekerja, menjaga kepentingan klien, tata bahasa, menjaga networking dengan para senior, dsb.

Sesungguhnya banyak anak2 muda kreatif bahkan punya modal finansial yang kuat untukmaju. Tapi mereka terjungkal karena tidak dimodali keempat points diatas. Sekarang saja,puluhan ribu anak2 muda kuliah broadkast, komunikasi dan film di dalam dan diluar negeri. Ratusan lainnya membeli peralatan digital dan langsung berkarya.... namun bila tidak ada Skill, Network, TeamWork dan Skill... you will be gone no matter what.....

Semoga bermanfaat
Salam
Naratama

Dari naratama

Sabtu, 14 Juni 2008

Realitas dalam Mereka Bilang Saya Monyet

Cukup membingungkan bagaimana ajeng seorang gadis kecil ketika ingin menggambarkan bagaimana sosok seorang ibu baginya. Gambaran anak kecil tadi merupakan adegan pembuka untuk sebuah film dari Djenar Maesa Ayu dengan judul yang diambil dari cerita pendek yang juga menjadi cerita untuk filmnya, Mereka Bilang Saya Monyet. Terlepas dari kedua cerpen yang diangkat Djenar Maesa Ayu Lintah dan Mereka Bilang Saya Monyet karena sampai sekarang saya berlum pernah membacanya, jadi saya hanya melihat secara realitas sebuah film yang dibuat oleh DMA tersebut. Bagaimana sebuah reliatas begitu dekat untuk Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang Saya monyet
Film yang dibuat dengan cukup sederhana namun tidak sesederhana ini memang cukup meyakinkan untuk sebuah film yang diserbu oleh beberapa film horor dan komedi sex yang begitu ramai. soalnya pas minjem di rental vcd film ini diapit film2 horor dan komedi aneh. Film ini memiliki cerita bagaimana seorang perempuan Adjeng yang diperankan oleh Titi Sdjuman menghadapi masalahnya, masalah kehidupannya yang sepertinya diselimuti oleh bayang2 kelakuan ibunya yang diperankan sangat apik Oleh Henidar Amroe. Kekerasan emosi, mental yang pernah dialamai oleh Adjeng namun begitu dikasih batas antara hubungan anak dengan seorang Ibua yang telah melahirkan juga melakukan kekerasan mental, Adjeng seperti merasa sebagai seorang anak yang harus patuh terhadap ibunya. Hal itu terasa tidak berlaku bila ada bersama orang lain.
Keadaan yang dialami Adjeng inilah yang disampaikan oleh DMA dengan cukup mengesankan. Dari mulai bagaimana ia menceritakan Adjeng kecil yang begitu susah memberi sebutan untuk ibunya, bagaimana pacar ibunya bertindak terhadapnya ataupun bagaimana Adjeng harus tidur bersama dua orang untuk menutupi kekurangannya.
Adegan yang selalu berputar dalam film ini adalah bagaimana Adjeng kecil dan remaja menerima keadaan yang menimpanya, beberapa adegan ditampilkan secara menawan oleh DMA yang langsung memberetahukan kepada penonton secara langsung bahwa Adjeng Kecil sangat tersiksa dengan hidupnya hingga harus secara terpaksa memakan kembali makanan yang telah ia muntahkan sampai membuat traumatik terhadap makanan tersebut. Bagaimana kehidupan remajanya yang diganggu oleh teman sekolahnya menjadi keadaan yang ingin ditunjukan oleh Djenar, kita dicoba untuk ikut merasakannya secara berulang-ulang. Namun dari beberapa pengalaman getir Adjeng ada sedikit kasih yang ia terima walaupun ia sepertinya melupakan dengan gampang bagaimana seorang Pembantu yang dengan setia memberinya motivasi hilang begitu saja dalam cerita, apa karena ia memang seorang pembantu hingga sub-plot ini tidak rampung sampai dengan akhir babak. Atau karena memang benar sebuah realitas bahwa seorang pembantu apapun itu mereka hanya seorang pembantu. Penuturan yang dilakukan oleh DMA bahwa ada seorang yang sangat memperdulikan Adjeng Hanya sampai disitu saja tidak ada kelanjutan karakter yang diperankan oleh Jajang C Noer, rasanya jika karakter ini dihilangkan juga tidak berpengaruh apa2.
Dari cerita memang DMA memfokuskan kepada keadaan yang dialami Adjeng, dari beberapa adegan ada sebuah gambar yang menurut saya juga cukup menarik ketika pacar ibunya bersama Adjeng kecil berada dikamar mandi, sebuah air dengan lintah yang tiba2 berubah menjadi kemerahan, sebuah gambar simbolik yang biasa dipakai dalam beberapa film. Kalo menurut Guru saya sebuah kekerasan yang menarik, sebuah kekerasan yang digambarkan dengan sangat artistik, tidak secara langsung menggambarkan bagaimana kekerasan terjadi. Inilah salah satuhal yang saya angap menarik.
Adjeng tidak bercerita sampai disitu, cerita2 Adjeng yang lain masih terus ingin disampaikan DMA dengan menarik, melalui editing yang menarik dengan pengambilan gambar yang menunjukan perubahan setting cukup enak untuk diikuti. Bagaimana DMA melakukan pergerakan kamera ketika akan melakukan perubahan setting atau pengambilan gambar2 out frame lalu disolve untuk perubahan setting dilakukan. Teknik sinematografi ini sangat jarang dilakukan apalagi bagaimana harus menghubungkan dengan cerita tidak langsung meloncat. Editing baik didapati saat Ibu Adjeng ulang tahun yang berubah menjadi sebuah sketsa gambar keluarga.
Beragam realitas yang ingin di disampaikan oleh kedua penulis cerita tergambar dengan begitu jelas oleh sutradara yang juga ikut menulis naskah skenarionya bersama Ressa Herlambang. Beberapa Subplot yang dihadirkan cukup memberikan nilai tambah untuk mendramatisasi cerita. Banyak sekali reliatas yang ingin disampaikan oleh Pembuat film ini selain keadaan Adjeng dengan keadaan yang terjadi dibalik dunia kecil Adjeng dengan masalahnya. Melalui beberapa dialog beberapa realitas yang terjadi tersampaikan, seperti keadaan bagaimana orang lebih mementingkan diri sendiri lalu melupakan orang lain yang sebenarnya membutuhkannya, hal ini terjadi pada teman Adjeng, Yenny dan Andien. Juga dialog yang disampaikan Adjeng saat bersama Asmoro bagaimana sebuah hukum dan keadaan di negara ini mengenai pemerkosaan dll.
Akhirnya boleh dibilang gagasan yang disampaikan oleh DMA sudah tersampaikan dengan cukup jelas melalui filmnya kata lainnya realitas mengenai curhat seorang Adjeng sudah bisa dirasakan oleh penonton yang mononton. Akting para pemain dengan karakternya sangat bagus, Ray Sahetapy bermain cukup santai alami dengan pengucapan diolog yang sangat rapi, 2 thumb up buat karakter ini. Adjeng yang diperankan Titi Sjuman cukup tertolong dengan permainan lawan mainnya dan juga permainan sinematografi. Tetapi Adjeng lebih enak dilihat ketika tidak melakukan dialog lebih enak melihat dalam kondisi pasifnya adjeng yang pasrah.
Dari semua realitas yang ada di film ini yang paling keren adalah, bagaimana film ini dibuat dengan biaya seminim mungkin namun sanggup menghasilkan mutu yang bagus. Semoga nanti saya bisa melihat film2 mengenai perempuan yang dibuat oleh seorang perempuan dengan masalah perempuan indonesia khususnya cerita khusus yang selalu menjadi tema Djenar Maesa Ayu karena masih banyak masalah perempuan-perempuan yang belum terangkat. Sukses terus buat perfilman Indonesia.

Rabu, 11 Juni 2008