Kamis, 21 Oktober 2010

Sinetron, Julia Roberts, Tanah Leluhur

Seorang teman yang sama-sama menonton Eat, Pray, Love memberi anggapan "Kita sedang menonton sinetron yang dibintangi oleh Julia Roberts." Tidak salah jika temanku sampai beranggapan seperti itu, film Hollywood yang memiliki cerita seperti yang ada di dalam setiap sinetron kita. Cerita-cerita di sinetron memang terbiasa menggambarkan seorang tokoh yang bisa mendapatkan segalanya, dia kaya, kadang menjadi tersiksa karena masih saja merasa kurang dengan apa yang telah ia dapatkan. itu gambaran kecil tentang sinetron indonesia yang hampir mirip dengan tokoh sentral film Eat, Pray, Love sama-sama seorang yang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan dengan cara yang kadang tidak perlu dengan logika. Saya sendiri kemudian berkata bahwa ini bukan sinetron melainkan FTV yang hampir tiap hari ada di SCTV, FTV yang ambil setting di Bali dan dibintangi Julia Roberts.

Luapan kekesalan memang saya temui dari beberapa orang yang menonton film ini. namun, banyak juga yang menilai film ini bagus dan menghibur. Mereka bisa tertawa lepas melihat semua tingkah Ketut yang diperankan sangat baik oleh Hadi Subiyanto yang baru pertama kali main di sebuah film. Mereka mengapresiasi ketika Cristine Hakim muncul dalam frame pertama film itu dan tentu saja penampilan Julia Roberts yang selalu menarik.

Julia Roberts yang mampu mengalihkan setiap plot cerita yang terkesan selalu cepat, plot cerita yang singkat dan padat pasti akan menyulitkan penonton yang sebelumnya tidak membaca buku aslinya. Latar belakang cerita, pengenalan tokoh dengan tiba-tiba sangat sulit untuk cepat diketahui siapa itu, siapa dia. Yang bisa dilihat adalah Julia Roberts yang memerankan Liz adalah seorang perempuan yang dengan mudah melakukan perjalanan 3 negara, punya masalah dengan suaminya, memiliki teman banyak yang selalu berada disampingnya, dialah drama quen yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Tidak ada konflik dalam cerita ini, konflik yang biasanya membuat sebuah film akan menjadi hidup. Memang dalam bukunya konflik sebenarnya yang terjadi juga tidak dijelaskan.
Kemudian kalau ditanya apa yang menarik dalam film ini. Pertama saya langsung bilang, Ubud, Julia Roberts, Ketut, dan Cristine Hakim. saya hanya menyayangkan mengapa Ryan Murphy sang Sutradara yang sedang mendapat banyak penghargaan ini malah membuat film ini tidak bisa dinikmati. Seharusnya film dengan buku yang laris itu dapat membuat tontonan yang lebih bagus lagi. Memang tidak salah ketika seorang teman beranggapan seperti menonton sinetron. cerita tanpa konflik berjalan mulus melihat Liz gilbert mendapatkan apa yang ia inginkan seperti cerita sinetron yang memenuhi layar di sore hari, datang mendapatkan dan pergi.

Ada satu hal yang mengkhawatirkan yang bisa saya tuliskan disini. Semoga yang lain juga merasakan hal yang sama. Ini tentang Ubud, Bali, Indonesia yang ditampilkan dengan indah dibanding dua negara sebelumnya. Itali yang penuh dengan gedung-gedung serta India yang potret kemiskinannya nampak sekali dalam film ini. Sedangkan Ubud ditampilkan dengan sangat menawan pada segment Love ini.

Awalnya saya iseng menelpon seorang teman di Bali untuk menanyakan kondisi Ubud seperti apa, harga tanahnya berapa. Saya kemudian mendapati bahwa Ubud merupakan sebuah 'tanah leluhur'. Lalu apa hubungannya dengan film yang mendapat dukungan dari pemerintah ini dan membuat suatu kekhawatiran dibalik dampak positifnya. Bagi yang sudah membaca bukunya pasti tahu bahwa rumah Tutti (rumah kebersamaan) milik Wayan adalah rumah yang berhasil didirikan oleh beberapa orang teman Liz Gilbert. Kita bisa merasakan rasa saling membantu pada bagian ini, keinginan membantu bagi yang membutuhkan dan rasa kebersamaan. Setelah uang terkumpul satu petak tanah berhasil di beli dan didirikan rumah. Saya hanya membayangkan bagaimana jika dikemudian hari ada Liz yang lain, yang bisa mendapatkan tanah kembali di Ubud bersama teman-temannya. Tanah leluhur di ubud akan semakin merasa dimiliki oleh tangan orang lain. Itu hanya kekhawatiran kecil saja dan saya yakin tanah leluhur itu tidak dengan mudah didapatkan. Ubud bisa mencegah perpindahan tanah itu, menjaga tanah leluhur itu.

Kesuksesan film EPL pasti akan membawa dampak besar bagi wisata indonesia khususnya Ubud yang pernah dinobatkan sebagai kota terbaik se-Asia yang mengalahkan Bangkok dan Hongkong. Konsekuensi yang harus diterima dengan semakin dikenalnya Ubud lewat film ini harusnya sudah dipersiapkan dengan matang oleh semua pihak. Semua orang pasti akan mencoba merasakan apa yang dirasakan Liz Gilbert di Ubud. Wisatawan akan banyak datang, kebutuhan akan penginapan semakin besar.

Apakah Ubud telah menyiapkan untuk itu semua, perubahan dampak dari film EPL agar tetap menjaga keseimbangan lingkungan, dan budayanya. Banyak sekali tempat yang menjadi lokasi film akhirnya berubah menjadi tujuan favorit wisatawan. AngKor Wat (Kambodja, Angelina Jolie), Viena(Before Sunsite, Ethan Hawke & Jlie Delphi) bahkan ada juga lokasi film yang dibintangi Julia Roberts, Nothing Hill menjadi tempat favorit wisatawan di London. Banyak keuntungan yang didapatkan dari itu Angkor Wat tetap bisa menjaga nilai sejarah tempat itu apakah Ubud tidak tenggelam dalam euphoria film Eat, Pray, Love.

Sungguh ironis jika karena kesuksesan film ini lahan-lahan persawahan tanah leluhur akan semakin hilang berubah menjadi hotel untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. film ini telah memulai perubahan ini yang akan membuka kembali minat wisatawan asing datang ke Indonesia. Saya yakin target 7 juta pada tahun ini bisa terpenuhi bahkan akan melebihi angka tersebut, apalagi data semester awal pada Juli sudah pada angka 4,5 juta wisatawan asing di Indonesia.

Saya tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi, konsekuensi itu ada didepan Ubud. Sedikit kekhawatiran memang muncul agar kota terbaik itu tidak semrawut dan mempertahankan setiap budaya lokalnya. Selalu berpandangan positif untuk keutuhan Ubud menjadi pilihan untuk saat ini. dan saya tetap mendukung wisata Indonesia, selamat bergabung dalam euphoria Eat, Pray, Love.

Kamis, 14 Oktober 2010

Catatan Perjalanan di Balik Ganasnya Pantai Gunung Kidul #2: Tempat itu harus didatangi.

Matahari masih nampak berada tepat diatas kami, waktu itu menunjukan pukul 12.30 ketika kami memulai perjalanan susur pantai ini. Pasir putih Wediombo masih melekat pada kaki-kaki, Cuaca cerah yang cukup panas diimbangi dengan desiran angin pantai yang membuat kami tidak terlalu merasakan panas matahari siang itu.

Tidak ada rencana yang harus kami tempuh dalam perjalanan ini. Dimana kaki sudah merasa sangat lelah maka disitulah kami harus menghentikan susur pantai ini. Bahkan, kami tidak tahu rute yang akan ditempuh selama perjalanan. Pantai apa yang akan terlalui, desa apa yang akan kami lewati. Yang kami tahu hanyalah terus melangkahkan kaki ini hingga menemukan sesuatu yang membuat kami harus berhenti dan menikmati setiap keintiman eksotisme laut selatan.

30 menit pertama untuk rute yang kami lalui adalah semak belukar yang rata-rat tingginya hampir sama dengan tubuh kami. Diantara semak belukar tersebut hanya sedikit tanda yang kami ketahui bahwa rute yang kami tempuh pernah dilewati oleh penduduk setempat. Dengan melihat tanda-tanda tersebut itulah yang selalu menjadi penuntun kami selain jalan yang memang sering dilalui. Tanda-tanda tersebut bisa diketahui dengan melihat batu wadas kapur yang atas nya berwarna kuning karena sering terinjak oleh telapak kaki.

Dengan tenaga yang masih penuh, kami berjalan tanpa ragu. Bahkan, Yula tanpa merasa panas menaiki menara pandang. Dari menara tersebut pasti dia bisa melihat pemandangan tanpa batas Samudera Hindia.

Pantai pertama yang kami temui setelah Wediombo adalah Watu Limbung. Awalnya kami tidak tahu nama pantai yang memiliki karakter unik ini. Pantai ini dipenuhi dengan banyak sekali batu-batu, terdapat pula batu-batu yang nampak seperti batu kali dengan melihat dari bentuknya yang bulat-bulat, batu yang sama seperti berada di kali progo atau kalo Moyo. Di pantai ini memang terdapat sungai yang bernama Kali Pasewan, kemungkinan dari sungai inilah batu-batu tersebut terbawa hingga ke pantai. Tidak ada akses mudah menuju Watu Limbung, kami harus menuruni bukit yang sedikit curam untuk bisa sampai ke pantai ini

Watu Limbung, awalnya kami sempat bingung kenapa dinamakan seperti itu. Apa karena bukan pasir yang memenuhi sepanjang pantai itu. Ternyata awal mula Watu Limbung itu berasal dari dua bongkah batu yang cukup besar, dua batu itu menurut penduduk setempat mirip seperti tokoh Punakawan pewayangan yaitu Limbung dan Semar. Dua saudara yang memiliki perbedaan karakter.

Batu yang besar adalah Limbung dan batu kecil yang terletak lebih dekat dengan bibir pantai adalah Semar. Perbedaan penggambaran yang menarik menurut saya. Ketika sesuatu yang menjadi besar bisa menjadi Limbung dan Semar tetap menjadi kecil. Dalam cerita pewayangan kedua tokoh tersebut juga memiliki karakter yang unik. Semar yang yang dijadikan guru sekaligus pelindung pandawa hingga mereka bisa menemukan hakekat sejati kabajikan dan Limbung(Bilung) merupakan tokoh punakawan lainya yang kadang memihak musuh meski kadang menjadi bagian dari gerombolan punakawan. Disitu batu semar lebih dulu melindungi batu limbung dari ombak lembih dulu. Karena posisinya yang berada lebih dekat dengan bibir pantai.

Di pantai ini kami bertemu dengan beberapa nelayan yang sedang memancing lobster. I kg Lobster berharga sampai 350 ribu namun jika ada salah satu bagian tubuh lobster cacat seperti kakinya hilang satu, harga 1 kg lobster turun drastis menjadi 50 ribu. Harus sangat hati-hati sepertinya untuk dapat melindungi lobster tersebut agar tidak lepas kakinya.

Keluar dari Watu Limbung perjalanan kami berlanjut. Mengikuti jalan setapak yang kecil, semak belukar bahkan harus mencari jalan sendiri karena jalan yang biasa dilalui sudah hilang karena longsor. Untuk itu kami harus lebih berhati-hati, beberapa kali batu sebagai pijakan lepas. Tanah yang masih terasa labil karena longsor membuat tangan kami juga harus mencari tumpuan agar berat badan tidak terasa lebih berat. Melihat batu yang meluncur kebawah membuat nyiut nyali saya, kalau hanya jatuh beberapa meter sepertinya tidak ada apa-apa tapi dibawah kami adalah ombak yang besar dengan batuan karang hitam yang terlihat seperti siap menerkam apapun yang akan jatuh kebawahnya. Kalau sudah seperti itu saya hanya bisa mengeluh sendiri “untuk apa melakukan kegiatan seperti ini.” Sedangkan Yula terlihat santai saja dengan keaadan yang sebenarnya membahayakan; kok ada orang setenang dia ya? Tidak ada ekspresi selain seperti hanya gambaran wajah arca pada relief candi-candi yang terlihat selalu tenang.

Namun itu semua segera hilang setelah saya melewatinya dan berada di titik tertinggi perbukitan, sambil mengatur nafas yang masih terengah-engah melihat jalan menanjak yang membuat nafas 234 Semua kejadian seperti naik bukit, menuruni bukit menaiki tebing menuruninya dan mencapai titik tertinggi juga nafas yang terengah-engah, suara ombak dan juga tiupan angin yang kadang kencang seperti sebuah de-javu. Terulang-ulang sampai berapa perbukitan yang kami lewati berapa batu karang yang harus kami naiki dan yang pasti berapa keindahan yang tertangkap oleh rasa kami.

Kejernihan yang hanya nampak pada sebuah lukisan, saya kembali mengingat syair ini. Kalau melihat apa yang sedang saya pandangi saya merasa ragu dengan beberapa cerita yang pernah saya dengar bahwa Gunung Kidul merupakan daerah tandus dengan keterbatasan air. Apa yang membentang dihadapan saya seloah mengaburkan relaitas yang memang terjadi di beberapa daerah di Gunung Kidul.

Ada satu pemandangan yang sepertinya akan selalu tersimpan dengan jelas dalam ingatan saya. Sebuah jalan setapak kecil yang berada di tengah perbukitan yang dipenuhi dengan ilalang. Sungguh pemandangan yang nampak hanya seperti dalam sebuah film luar eh Denias juga berhasil membawa keindahan alam Papua kok. Bahkan orang harus tiarap sedikit agar orang yang berpapasan bisa lewat. Disamping bukit tersebut ada sebuah air terjun yang memiliki tinggi belasan meter. Inilah pemandangan Banyu Tibo (air jatuh). Sayang sekali kami tidak bisa turun kebawah menikmati air terjun itu. Jika ada yang pernah melihat air terjun surga dalam film animasi UP maka gambaran umum tentang sebuah bukit dengan air terjun ditambah pantai yang biru ada pada Banyu Tibo. Sepertinya penduduk setempat tidak terlalu memikirkan nama tempat yang begitu menawan ini.

Setelah selama 2 jam lebih melewati pinggiran Samudera Hindia yang terisi dengan ketegangan, kesenangan, keindahan kelelahan dan kesadaran penuh bahwa itu merupakan bagian kecil dari Nusantara yang benar-benar indah ini. Pantai Siung, kami akhirnya sampai juga di pantai yang cukup terkenal dikalangan pemanjat ini dan wisatawan umumnya. Disiung kami sempat menikmati segelas es teh. Berbeda dengan pantai-pantai sebelumnya selain Wediombo. Pantai ini sudah dikelola dengan baik. Karena sepertinya orang sudah banyak mendengar tentang pantai Siung saya tidak akan menulis banyak tentang pantai ini. Kami hanya beristirahat sejenak meneguk segelas es teh, namun saya sempat berpikir, membayangkan kepada wisatawan yang sedang menikmati siung. Coba mereka bisa melihat pemandangan apa yang kami lihat sebelumnya, pemandangan pantai yang masih terlihat alami, semoga saja nanti ada akses mudah menuju kesana. Watu Limbung dengan keunikannya yang bisa menarik perhatian para pemanjat, Banyu Tibo yang mirip air terjun surga dalam film Up pasti akan menarik beberapa wisatawan dan penjelajah.

Tetapi jauh dalam pandangan saya agar pantai itu tetap seperti itu, tidak banyak pengunjung yang biasanya akan meninggalkan sampah dan coretan tidak penting. Tapi, sayang juga ada tempat seindah itu tidak bisa dinikmati.

Bersambung……..

.... sebuah jalinan antara ganasnya pantai dan penduduk setempat dalam rangkaian cerita.

Selasa, 12 Oktober 2010

Catatan Perjalanan dibalik Ganasnya Pantai Gunung Kidul #1: Gerbang kerjernihan itu bernama Wediombo

Gunung Kidul, salah satu daerah yang memiliki bentangan karst terbesar di Indonesia. Hasil pembentukan alam itu telah memberikan keindahan alam yang layak untuk dirasakan. Beragam bentuk keindahan ditawarkan oleh Kabupaten yang terletak disebelah timur Jogjakarta: Perbukitan karst yang kokoh menawan, wisata purbakala, wisata alam seperti gua dan juga pantai-pantainya yang memiliki karakteristik khas perbukitan karst.

Pantai-pantai Gunung Kidul yang menjadi tujuan saya dan teman saya Yula untuk melakukan perjalanan susur pantai ini. Kami menempuh waktu 2 hari satu malam bersama ganasnya ombak samudera hindia. Inilah sedikit catatan yang tertulis dalam menikmati keindahan dibalik ganasnya pantai selatan. Seperti seorang kawan telah memberi semangat bahwa hasil yang baik adalah hasil yang diperoleh dengan keberanian. Sedikit keberanian dan kenekatan inilah modal utama yang saya gunakan untuk melakukan perjalanan ini, selebihnya saya percaya dengan teman saya Yula yang sepertinya telah terbiasa dengan keaadan ini.

***

Sabtu, 9 Oktober 2010. Hujan lebat mengawali hari ketika matahari belum memberikan sinarnya. Waktu menunjukan pukul 5 pagi, hujan yang turun dipagi ini seperti memberikan satu firasat yang tidak baik akan cuaca hari ini. Namun, keadaan dengan cepat berubah. Hujan mulai mereda pada pukul 6. yang terlihat hanya renai gerimis pagi yang menimbulkan nuansa kehangatan di pagi itu.

Jalanan terlihat lebih bersih, air hujan telah menjadikan aspal hitam itu menjadi mengkilap. Beberapa pedagang makanan yang berada di ruko-ruko jokteng kulon masih terlihat mengenakan baju hangat mereka, ibu-ibu tua itu menikmati pagi itu bersama sopir bus yang ngetem didaerah itu. Lihatlah, gerimis pagi itu menyatukan beberapa orang dibawah atap ruko, mereka berlindung dari hujan. Anak sekolahan, buruh pabrik, bahkan becak yang terlihat merayu anak sekolahan untuk dijadikan calon penumpangnya. Mereka menyatu, berkumpul diantara gerimis pagi. Inilah salah satu hal yang saya suka dari hujan, hujan bisa menyatukan mereka pada sebuah kondisi meski kadang saya juga membenci hujan.

Sesuai janji, saya bertemu dengan Yula teman perjalanan yang akan bersama susur pantai Gunung Kidul. Kami bertemu di meeting point kami di terminal Giwangan. Tanpa menunggu lama kami langsung bergegas menuju bus kecil jurusan Jogja-Wonosari.

Bus kecil yang kami tumpangi cukup bersahabat, bersama seorang sopir yang ramah perjalanan yang ditempuh selama hampir 2 jam berjalan tanpa terasa. Di sepanjang jalan yang penuh tikungan dan tanjakan itu pak sopir yang tak saya tahu namanya itu memberikan beberapa informasi tentang daerahnya. Ongkos dari Jogja-Wonosari hanya Rp. 6.000 untuk satu orang.

Sampai di terminal Wonosari, kami mampir di angkringan untuk sekedar mengisi perut yang masih kosong sambil melengkapi perlengkapan yang akan dibawa selama perjalanan.

Kembali bus kecil akan kami tumpangi, bus kecil jurusan Wonosari – Jepitu. Tidak sulit menemukan bus kecil tersebut, hampir tiap 20 menit bus-bus kecil itu akan berangkat menuju Kecamatan Jepitu. Dalam perjalanan menuju Jepitu akan nampak bentangan perbukitan karst yang menjadi ciri khas daerah Gunung Kidul. Tidak terlihat tandus seperti dalam cerita yang sering didengar, yang nampak adalah gugusan bukit berbatu yang kadang seperti sebuah candi yang tertata rapi. Pemandangan bentangan gugusan karst tersebut bisa menjadi bonus tambahan, dengan ogkos Rp. 6.000 perjalanan dengan bus kecil itu menjadi lebih menyenangkan menuju Jepitu.

Sampai di tujuan kami langsung didatangi tukang ojeg yang telah menunggu di pertigaan Jepitu. Tanpa menawar kami langsung sepakat dengan harga yang mereka tawarkan, Rp. 5000 untuk satu orang menuju Pantai Wediombo. Dengan naik ojeg kami juga bisa lolos tanpa membayar biaya retribusi Rp. 2000 yang biasa ditarik kepada pengunjung Wediombo.

Sebuah cakrawala biru membentang, inilah pemandangan pertama. Dengan jelas nampak Samudera Hindia, bentangan garis lurus yang terhalang pohon itu sejenak menghilangkan lelah setelah selama 3 jam berada dalam bus. Pemandangan ini terlihat setelah saya melalui pos retribusi, dalam hati saya sempat berujar “senang bisa berjumpa kembali denganmu Wediombo.”

Pantai Wediombo merupakan pantai dengan pasir putih yang menarik. Sebagai slaah satu pembentukan pantai perbukitan karst dengan karakteristik pantainya yang berbeda dengan pantai-pantai di jogja, Wediombo menawarkan eksotisme keganasan pantai selatan dengan sendirinya.

Saya masih terduduk menikmati salam perjumpaan kembali dengan pantai ini, pemandangan pantai, gemuruh ombak serta awan yang berarak mengalihkan perhatian yang sebelumnya mengusik pikiran. Itu tentang kekalahan tim Garuda yang belum mengalahkan Uruguay, beberapa headlines di suratkabar yang membuat saya tidak menerimanya. Saya memang menerima kekalahan tim Garuda, tapi saya tidak menerima kepada semua surat kabar yang terlihat mengucilkan kekalahan tim Garuda. Seharusnya mereka terus mendukung bukan dengan menggunakan moment kekalahan tersebut melalui tulisan pada headline yang menambah kekalahan. Namun semua perhatianku tentang itu semu sudah teralihkan dengan Wediombo, sedikit juga membayangkan ratusan kilometer dari sini, Wasior, Papua semoga juga bisa merasakan ketenangan seperti yang saya rasakan waktu itu, banayk doa untuk saudaraku disana.

Wediombo dengan keunikannya selalu memberikan sesuatu yang tak perlu untuk dituliskan kembali. Datang dan rasakanlah setiap hempasan angin, dengarkanlah deburan ombak pada karang yang berdiri kokoh itu.

Setelah menikmati sejenak Wediombo, kami beristirahat di bawah pohon kelapa untuk segera memulai perjalanan yang akhirnya kami tahu bahwa perjalanan ini ternyata penuh dengan resiko. Beberapa kumang kecil terlihat berjalan dengan lambat, sepertinya bulan ini adalah musim kumang-kumang itu menetas diantara pasir putih Wediombo.

Bersama gemuruh ganasnya ombak samudera hindia yang akan menjadi teman selama perjalanan, kami akan memulai perjalanan susur pantai ini. Kami sadar bahwa kami telah sedikit keluar dari rutinitas keseharian kami, keluar dari zona kenyamanan hanya untuk mencari sebentuk keindahan dibalik keganasan Pantai Gunung Kidul. Pantai Wediombo menjadikan gerbang kejernihan yang gambaran jernihnya hanya bisa ditemukan pada lukisan.(kutipan syair “Bunga dan Burung” Tan Swie Han) yang akan mengawali perjalanan kali ini.

to be continue.......

Rabu, 06 Oktober 2010

Sebelum 1000 Burung Kertas

Sore menjelang malam. "Gimana? sudah siap untuk membuat sebuah harapan melalui kertas-kertas ini?" Suara seseorang dengan penuh semangat membuka obrolan diujung sore menjelang malam. "Dulu saya membuat 1000 burung kertas untuk seseorang yang selalu ada di doa-doaku, hampir selesai sebelum ada sesuatu yang harus menghentikan."

"Aku masih ingat." Lihatlah, pupil matanya bergerak menuju sudut kiri atas, terlihat sangat menawan perempuan didepan kami ini. Setelah berhenti sejenak ia melanjutkan kembali kisahnya. "Dulu ketika ayahku menceritakan cerita tentang Sadako yang malang, sebelum ia berhasil melipat kertas-kertas menjadi sebentuk burung kertas ia tertidur selamanya dalam impiannya untuk menyelesaikan 1000 burung kertas. Padahal waktu itu Sadako baru menyelesaikan 644 buah burung kertas. Setelah ia meninggal ternyata ada teman dan keluarganya membantu menyelesaikan 1000 burung kertas itu. Bukan burung kertasnya tapi aku melihat sebuah ikatan emosial yang tinggi dari budaya orang jepang itu. Sampai sekarang aku gak tahu apa sebenarnya yang diharapkan Sadako, harapannya dengan melipat 1000 burung kertas. Apakah agar tidak lagi ada anak-anak yang menderita seperti dirinya dulu ketika menjadi bagian dari tragedi bom atom Hiroshima."

Kami hanya duduk mendengarkan cerita dari teman telapak tangan kasar diantara dua beringin. Dia membawa seseorang itu berkumpul bersama kami, memberikan sebuah kenangan pada suatu sore. Kertas berwarna yang seharusnya sudah menjadi beberapa burung kertas masih terlihat rapi. Kami masih begitu memperhatikan setiap kata yang dikisahkan teman dari telapak tangan kasar diantara dua beringin.

1000 burung kertas, memang saya pernah mendengar cerita itu dari perempuan yang pasti sudah mengetahui cerita tentang Sadako, saya yakin itu. Sri, orang yang tidak suka mendengarkan orang berbicara tentang sebuah hal yang tak mungkin terjadi. Orang yang selalu memikirkan bahwa beratus-ratus, ribu kilometer dari sini kenapa masih ada peperangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Sri Bintang Delima, sebelum tidak ada yang berkata realitas itu belum selesai.

Saya tuliskan surat yang lalu tentang rencana membuat 1000 burung kertas, kukabarkan padamu nanti. Sudah banyak teman yang akan membantu, diantaranya orang yang ingin sekali bertemu denganmu. Bahkan temanmu memberi masukan yang sangat menarik tentang kultur Jawa, mungkin jika ada kamu kita akan sepakat bahwa ini bukan tentang suatu kultur jepang maupun jawa tetapi bagaimana kita mengapresiasi terhadap bentuk keindahan oleh ikatan emosional yang terbentuk dari 1000 burung kertas itu. Kita akan sepakat bahwa keindahan tak bisa dibatasi oleh sebuah kultur.

Salam damai dari Jogja.

Gugun
(merakit harapan bersama beberapa kawan disudut Nagan: Greg, Vani, Rizki, Dhea)


Senin, 04 Oktober 2010

Harmoni Dua Beringin

Ditemukan sebuah harmoni dipinggir jalan. Itu milik siapa tidak ada yang tahu. Harmoni itu tak berbentuk berwarna kuning kebahagiaan. jika saya mendekat harmoni itu memberikan keharuman kabut pagi Dieng. Pernah saya mau mencoba memegangnya, dia begitu keras seperti karang di pesisir Pacitan. Namun, seorang teman yang duduk memperhatikan tingkah saya dengan harmoni itu penasaran. Ia meniupnya, dan lihat tiba-tiba harmoni itu seperti kapas yang terhempas kena tiupan angin tepi pantai parang Ndog.

Harmoni memberikan citranya kepada seseorang dengan telapak tangan kasar diantara dua beringin alun-alun kidul. Dia sengaja datang diundang melalui penyatuan dua simphoni. Hasrat dan sayang, harmoni mengatakan 2 hal itu yang akan disatukan kepada seorang dengan telapak tangan kasar diantara dua beringin.

Temanku kembali meniup harmoni itu, kali ini dengan hasrat untuk memilikinya. Kembali harmoni berubah menjadi sekeras karang yang menjulang tinggi. Si telapak tangan kasar diantara dua beringin sudah hadir. Dengan kasihnya ia menyibak harmoni yang ada, bukan dengan hasrat matanya yang nampak kaku melihat keindahan harmoni itu. Harmoni itu begitu indah berada ditangan yang tepat. Semua orang tertuju pada telapak tangan kasar itu, ia memainkan harmoni itu dengan penuh keindahan. Terbentukalah sebuah Harmoni dijalan itu, seorang dengan telapak tangan kasar telah membuat harmoni diantara dua beringin menjadi lebih menarik.

Harmoni itu ada, masih tersimpan diantara dua beringin. Ia menjaganya dengan kasih, ia lupakan hasratnya. Sesekali saya masih bisa menikmati harmoni itu dari kejauhan, sungguh perpaduan yang menarik. Sri Bintang Delima, suatu waktu akan kuajak engkau menikmati harmoni itu. Akan kutunjukan sebuah harmoni dari telapak tangan kasar diantara dua beringin.