Sabtu, 23 Mei 2009

Frau, A Girl On The Run


Frau, A Girl On The Run
Tiba-tiba keramaian malam itu terheti sejenak oleh harmoni suara vocal seorang perempuan dan alunan tuts piano. Semua mata tertuju dipojok Kartapustaka, seorang perempuan sedang bernyanyi dan memainkan sendiri pianonya. Lagu itu mampu membuat semua orang yang berada disitu terpana melihat performing dari orang dibalik piano besar itu. Saya memang tak tahu siapa dia, lagu apa yang sedang ia mainkan, tapi mendengar ada lagu seperti itu saat ini di jogja dengan nada-nada, lirik yang berkelas dan berbeda tentu saja semua orang pasti suka. Frau, dia menyebutnya seperti itu, pendatang baru? Bukan, yang jelas dia yang akan menjadi salah satu orang yang mempermegah music Indonesia.

Jumat, 22 Mei 2009 ketika membuka facebook, saya mengetahui bahwa Frau yang sempat saya dengar dari kejauhan dulu akan pentas di Lembaga Indonesia Perancis (LIP), apalagi diiringi dengan seni pertunjukan Pantomim. Awalnya ketika mencoba menghubungi panitia, saya mendapati info bahwa semua tiket telah habis. Untungnnya seorang di telp itu bilang bahwa, masih ada waiting list yang masih bisa dipakai bila penonton tidak datang. Akhirnya saya dan teman saya mendapat pertnujukan sesi ke-2.

Frau, siapa yang mengenal perempuan ini, berapa banyak yang mengenal, mengetahuinya. Tidak perlu mengenal dia untuk mengenal lagunya. Simak saja dengarkan dengan baik, dan aku berharap siapkan juga rokok serta kopi hangat disebelahmu. Ketika mulai mendengar lagu dari Frau pasti ada sesuatu yang berbeda, perasaan menikmati kenyamanan tiba-tiba datang. Kenyamanan yang semua orang inginkan, dari lagu Frau saya mendapatkannya, namun sayang saya hanya baru tahu 3 lagu yang ada di profil myspacenya, dan satu lagu yang ada dalam daftar list no 1 winamp komputerku. Simaklah Mesin Penenun Hujan dari Frau, liriknya, nada-nadanya menjadi kesatuan yang utuh, membentuk kesederhanaan yang berkelas.

Malam itu pentas yang berlangsung selama 1 jam, memang menunjukan sesuatu yang menarik. Pentas acara yang diadakan oleh musicbox records itu merupakan sebuah catatan diary dari Frau yang terbentuk dari lirik lagu-lagunya. Diiringi oleh Bengkel Mime Theatre yang mempu membuat penonton terbahak-bahak ketika menyaksikannya. Tidak jelas berapa Frau malam itu membawakan lagu-lagunya, namun sangat jelas bahwa pertunjukan itu membuat tepuk tangan yang meriah untuknya dan tim pendukung malam itu. Didukung oleh elemen yang ada dalam pertunjukan itu seperti koreografi, tata artistic, lampu, soundscape juga kolaborasi dengan seorang pianis wanita lainya juga sang ibunda , acara itu menjadi acara yang menyenangkan.

A girl on the Run , sendiri menceritakan tentang anakmuda ditengah dunia yang bergerak, seorang gadis yang berada ditengah-tengah lingkungan yang terus bergerak dan dinamis. Seorang gadis yang memiliki imajinasi-imajinasi unik bersama pianonya sebagai tempatnya berlari dan menemukan dirinya ditengah dunia yang tak pernah berhenti bergerak. :::www.itsmusicboxtoday.com:::

Melihat pertunjukan malam itu memang seperti berada dalam dunia Frau yang bergerak-gerak mendengar dari tiap lagu-lagunya yang santai, kita terbawa santai. Kesan saya adalah tidak berkata apa-apa, hanya jari-jari melipat saling menggenggam dan menjadi penopang dagu menyisakan telinga yang siap mendengar lagu-lagu yang ingin saya dengar malam itu.


::::::: Gugun 7 :::::::
::::::: Episodetu7uh with Frau a Girl in the Run May, 22, 2009 :::::::

Lirik "Mesin Penenun Hujan" Frau

merakit mesin penenun hujan/hingga terjalin terbentuk awan/sebuah tentang kebalikan/terlukis, tertulis, tergaris diwajahku/

keputusan yg telah terputuskan/ketika engkau telah tunjukan/semua tentang kebalikan/kebalikan diantara kita/

kau sakiti aku, kau gerami aku/kau sakiti, gerami, kau benci aku/tetapi esok nanti, kau akan tersadar/kau temuakan sebuah hal yang lebih baik/dan aku kan pergi /kuakan jadi hujan/tapi tak akan lama ku akan jadi awan/

merakit mesin penenun hujan/ketika engkau telah tunjukan/semua tentang kebalikan/kebalikan diantara kita


:::kalo mau nikmatin lagunya FRAU just Click here:::

Sabtu, 16 Mei 2009

Hanya Sebuah Kursi

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan berterima kasih kepada seorang teman, saat itu dia sedang terkena bencana, dompet yang berisi uang hasil kerjanya sebulan hilang didalam kamarnya. Tarno, saya mengenalnya sebagai penjaga kampus, saat saya datang ia bercerita bahwa dompetnya hilang dikamar, dikamar yang pernah saya gunakan juga sebagai setting film tugas kuliah dulu. Di perbincangan sore itulah saya teringat ketika saya pernah juga duduk disini bersama teman.

Kami duduk berdua setelah sebelumnya melahap bakso bakar di Wirosaban. Duduk di kursi yang akhirnya menimbulkan beragam argumen dari teman-teman di AKRAB yang memang sengaja saya upload lewat facebook, dari postingan mereka saya bisa tahu bahwa kursi itu memiliki banyak kenangan. Beragam cerita timbul dari yang belum saya ketahui dan cerita-cerita lama tentang angkatanku. Salah satu postingan menyebutkan sebuah nama, nama yang pernah saya cukup kenal. Marina, seorang anak yang menutup dirinya, juga selalu menutup kepalanya dengan topi. Kabar terakhir yang saya dengar bahwa ia akhirnya menikah dengan seorang yang juga pernah saya kenal.

Cerita lain dari sebuah kursi itu muncul, kursi itu hanya sebuah kursi, bukan kursi yang menarik. Dari kursi itu saya bisa memandang seluruh kelas-kelas yang pernah membuat saya kecewa dan bangga dengan keadaan kampus kecil itu. Dari kursi itu saya mendengar cerita-cerita yang ingin saya dengar. Dari kursi itu saya mendengar harapan, cita-cita, impian serta musibah. Teman saya bilang itu hanya sebuah batu, yang akan diam walaupun dikentuti. Sejenak, saya teringat kuliah umum bersama Heri Dono beberapa waktu lalu, ia percaya bahwa semua benda memiliki roh, keyakinan animismenya membuat saya bertanya, apa ada sesuatu yang lebih dari sekedar kursi?

Kursi, apa yang pernah kamu dengar dari semua harapan kami?

Pertanyaan ini kembali muncul setelah sudah lebih dari setahun saya bersertifikat kelulusan dari kampus kecil ini. Pertanyaan yang sama ketika pertama kali menjatuhkan pilihan kepada kampus yang hampir tidak dikenal di Jogja. Apakah saya tidak salah memilih, apakah saya hanya korban iklan seperti teman yang lain bilang. Tidak, semua ini dengan sengaja dan tidak sengaja terbentuk disini. Hingga jawaban dari pertanyaan itu hanya jawaban paling bodoh yang pernah saya pikirkan. Kenapa saya kuliah dan untuk bilang kenapa saya kuliah, kenapa saya memilih kampus ini ternyata harus melalui 4 tahun yang begitu cepat untuk mencari jawaban itu. 4 tahun hanya di buat untuk bisa bertanya, kenapa kuliah? Kenapa di AKRAB? Bagaimana kalau saya tidak kuliah, tidak akan ada pertanyaan konyol ini.

Dan semua ini berawal dari mimpi kecil seorang anak kampung, yang kembali nyata ketika duduk di kursi halaman kampus kecil itu. Kursi yang selalu mengingatkan kenangan akan kekecewaan dan kebanggaan. Berada disana, hanya akan menemukan tanah lapang kosong. Tanah lapang itu bisa saya isi dengan harapan dan semua harapan yang seseorang titipkan kepadaku. Di kursi itu, aku tunggu kedatangan kalian teman lama, ceritakan padaku cerita mengenai indahnya kebanggaan, harapan dan impian.

Gugun 7