Sabtu, 16 Mei 2009

Hanya Sebuah Kursi

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan berterima kasih kepada seorang teman, saat itu dia sedang terkena bencana, dompet yang berisi uang hasil kerjanya sebulan hilang didalam kamarnya. Tarno, saya mengenalnya sebagai penjaga kampus, saat saya datang ia bercerita bahwa dompetnya hilang dikamar, dikamar yang pernah saya gunakan juga sebagai setting film tugas kuliah dulu. Di perbincangan sore itulah saya teringat ketika saya pernah juga duduk disini bersama teman.

Kami duduk berdua setelah sebelumnya melahap bakso bakar di Wirosaban. Duduk di kursi yang akhirnya menimbulkan beragam argumen dari teman-teman di AKRAB yang memang sengaja saya upload lewat facebook, dari postingan mereka saya bisa tahu bahwa kursi itu memiliki banyak kenangan. Beragam cerita timbul dari yang belum saya ketahui dan cerita-cerita lama tentang angkatanku. Salah satu postingan menyebutkan sebuah nama, nama yang pernah saya cukup kenal. Marina, seorang anak yang menutup dirinya, juga selalu menutup kepalanya dengan topi. Kabar terakhir yang saya dengar bahwa ia akhirnya menikah dengan seorang yang juga pernah saya kenal.

Cerita lain dari sebuah kursi itu muncul, kursi itu hanya sebuah kursi, bukan kursi yang menarik. Dari kursi itu saya bisa memandang seluruh kelas-kelas yang pernah membuat saya kecewa dan bangga dengan keadaan kampus kecil itu. Dari kursi itu saya mendengar cerita-cerita yang ingin saya dengar. Dari kursi itu saya mendengar harapan, cita-cita, impian serta musibah. Teman saya bilang itu hanya sebuah batu, yang akan diam walaupun dikentuti. Sejenak, saya teringat kuliah umum bersama Heri Dono beberapa waktu lalu, ia percaya bahwa semua benda memiliki roh, keyakinan animismenya membuat saya bertanya, apa ada sesuatu yang lebih dari sekedar kursi?

Kursi, apa yang pernah kamu dengar dari semua harapan kami?

Pertanyaan ini kembali muncul setelah sudah lebih dari setahun saya bersertifikat kelulusan dari kampus kecil ini. Pertanyaan yang sama ketika pertama kali menjatuhkan pilihan kepada kampus yang hampir tidak dikenal di Jogja. Apakah saya tidak salah memilih, apakah saya hanya korban iklan seperti teman yang lain bilang. Tidak, semua ini dengan sengaja dan tidak sengaja terbentuk disini. Hingga jawaban dari pertanyaan itu hanya jawaban paling bodoh yang pernah saya pikirkan. Kenapa saya kuliah dan untuk bilang kenapa saya kuliah, kenapa saya memilih kampus ini ternyata harus melalui 4 tahun yang begitu cepat untuk mencari jawaban itu. 4 tahun hanya di buat untuk bisa bertanya, kenapa kuliah? Kenapa di AKRAB? Bagaimana kalau saya tidak kuliah, tidak akan ada pertanyaan konyol ini.

Dan semua ini berawal dari mimpi kecil seorang anak kampung, yang kembali nyata ketika duduk di kursi halaman kampus kecil itu. Kursi yang selalu mengingatkan kenangan akan kekecewaan dan kebanggaan. Berada disana, hanya akan menemukan tanah lapang kosong. Tanah lapang itu bisa saya isi dengan harapan dan semua harapan yang seseorang titipkan kepadaku. Di kursi itu, aku tunggu kedatangan kalian teman lama, ceritakan padaku cerita mengenai indahnya kebanggaan, harapan dan impian.

Gugun 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita buat semua ini menyenangkan.