Minggu, 31 Januari 2010

Eksotisme Kesadisan dalam Rumah Dara

Darah itu mengalir, hitam pekat kemerahan membuat orang yang melihat akan menyimpulkan kesadisan telah terjadi ditempat itu. Beragam benda tajam dengan mudah akan ditemui, dari samurai asli jepang yang mampu membelah tubuh manusia hingga tusuk konde yang beralih fungsi menjadi senjata mematikan. Teriakan, tangisan dan kepedihan secara dinamis mengisi plot cerita yang biasa saja. Tidak banyak sound efek yang sengaja digunakan untuk mengagetkan orang yang menonton, melainkan alunan musik lama yang akan menambah mood adegan yang akan membentuknya. Inilah keeksotisan kesadisan yang dikemas dengan sangat menarik oleh duo sutradara Mo Brother (Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto) dalam film Rumah Dara (Macabre). Eksotisme yang secara linear dibiarkan penonton sendiri yang menilainya. Penonton tidak menyadari bahwa ada cerita dalam film ini, tidak peduli dengan cerita yang memang sudah terbiasa untuk film dengan tema horor slasher, penonton disuguhi pemandangan kesadisan. Sebuah estetitasi kesadisan ditawarkan dalam film Rumah Dara ini.

Sebelum dipremiere di Indonesia film ini membawa judul Macabre, namun setelah diputar di Indonesia nama Rumah Dara sepertinya menjadi pilihan untuk judul penonton Indonesia. Dalam event internasional film ini juga mendapat penghargaan untuk aktris terbaik di Puchon Film Festival di Korea. Dan Rumah Dara diputar di beberapa festifal film lainnya. Rumah Dara merupakan perpanjangan dari versi pendek Dara dalam kompilasi film horor Takut (Faces of Fear)

Cerita berawal dari Astrid (Sigi Wimala) dan Aji (Ario Bayu)yang akan pergi ke Australia untuk kelahiran anak mereka. bagian pertama film ini kita dikenalkan oleh masing-masing karakter seperti Eko (Dendy Subangil), Jimmi(Daniel Mananta) dan Alam (Mike Lucock)serta Ladya (Julie Estele) yang memiliki masalah dengan kakaknya Aji setelah orang tua mereka meninggal gara-gara bertengkar dengan Aji. Pengenalan karakter yang cukup singkat dengan adegan pengunjung kafe yang menggoda Ladya cukup simple, menarik dan klasik untuk pengenalan karakter tokoh.

Tidak disangka setelah menolong seorang perempuan yang habis dirampok bencana akan muncul. Setelah menolong Maya ( Imelda Therine ) rombongan itu dibawa menuju tempat tinggal Maya, perkenalan dengan keluarga Maya adalah awal dari keseluruhan slashing dalam film ini. Dara ibu dari Maya yang diperankan sangat bagus oleh Shareefa Daanish dan Adam yang diperankan oleh Arifin Putra serta satu orang pria gendut Armand (Reli Lubis) . Keluarga inilah yang membentuk cerita tersendiri dalam film ini, dalam film ini karena keterbatasan media menjadi kekurangan tersendiri untuk memahami latar belakang keluarga aneh ini. Tertutupnya identitas keluarga ini menjadi teka-teki tersendiri sebagai keluarga pembantai.

Perjamuan makan tidak dihindarkan sebagai ucapan terimakasih dari keluarga Maya kepada rombongan Aji yang menolong Maya. Jika anda memperhatikan adegan perjamuan makan ini hampir mirip dengan adegan perjamuan makan yang penuh kesadisan dalam film Pintu Terlarang dari Joko Anwar. Kita dibawa dengan ketegangan yang sangat menarik, perjamuan makan yang akan membawa rombongan itu kedalam bencana besar yang akan menimpa mereka diiringi dengan backsound musik yang semakin menambah ketegangan. Ini salah satu kemasan eksotisme ketegangan yang dikemas menarik oleh sutradara Mo Brother dalam film ini namun sayang ingatan saya beralih ketika melihat adegan itu menuju adegan film lain yang sama-sama memunculkan ketegangan, mood dan emosi yang sama (Pintu Terlarang).

Setelah perjamuan makan itu, adegan penuh kesadisan menjadi tontonan selama film ini sampai akhir. Sudah banyak ditebak seperti dalam film-film slasher, darah, teriakan, kesakitan, kepedihan dan ketegangan menjadi bumbu yang menarik. Mo Brother mengesampingkan cerita untuk film ini dengan membuat orang berdecak dengan kesadisan yang telah mereka buat. Adegan yang mampu membuat orang menutup mata, ngilu menjadi pengganti bahkan membuat penonton melupakan cerita film ini.

Satu persatu rombongan itu dihabisi nyawanya, hingga tersisa Ladya dan Aji yang akhirnya mengesampingkan masalah mereka berdua dan bayi dari Astrid. Tidak hanya mereka 4 orang dari kesatuan polisi juga menjadi korban kesadisan rumah ibu Dara ini. Penampilan Aming sedikit memberikan nafas segar karena mampu membuat penonton tertawa setelah disuguhi beragam tingkat kesadisan dalam pembunuhan.

Rumah Dara secara keseluruhan menghadirkan akting dari para pemain yang memberikan emosi tersendiri kepada para penonton. Kesadisan Ibu Dara akan menjadi cerita tersendiri, karakter pembunuh berdarah dingin kembali muncul setelah masanya Suzana berlalu. Secara langsung setiap karakter ini muncul akan menampilkan ketegangan tersendiri yang terbentuk olehnya, suara yang berat dan raut muka yang dingin menjadi perpaduan kesadisan sang pembunuh. Karakter lain yang diperankan secara menarik adalah Adam, Arifin putra layaknya seorang pembunuh berhasil membuat orang melihat kekejaman pada dirinya. Akting keseluruhan pemain saya rasa menjadi kekuatan tersendiri, bermain total memberikan tontonan yang menarik.

Film ini seperti terlepas dari perdebatan tentang batasan sebuah kekerasan yang sering muncul dalam keseharian kehidupan nyata dan menjadi berita hangat setiap berita kriminal televisi. Sinematografi yang indah, backsound musik yang menambah emosi penonton memberikan nilai artistik tersendiri. inilah bentuk kekerasan, kesadisan yang dibentuk dengan istimewa oleh Mo Brother. Hitam pekat kemerahan warna-warna darah, teriakan penuh kepedihan dimunculkan oleh semua karakter menjadi sebuah tontonan istimewa. Sebuah eskotisme kesadisan yang dimunculkan selama film ini menjadikan film ini mendapat tempat istimewa bagi kebanyakan film horor Indonesia.

Rumah Dara semoga mampu memberikan tantangan kepada para pembuat tontonan yang biasa membuat tontonan film horor dengan biasa saja tanpa memperhatikan estetika sebuah tontonan yang bagus. Rumah Dara berhasil membuat sebuah film yang tidak biasa saja, tidak dengan ketegangan yang dibuat secara dipaksa. Tidak dengan adegan esek-esek yang berusaha menarik penonton, Rumah Dara memberikan tontonan alternatif untuk pecinta film. Rumah Dara berhasil keluar dari zona "aman" kebanyakan film-film sekarang ini, co-production tim ini layak untuk diacungi jempol dengan memproduksi film yang bermutu seperti ini. Ditunggu sekuelnya.

Mereka sudah merasakannya, termasuk saya. Siapkah Anda?

2 komentar:

  1. wih emang sadis sob....
    ntar buat yang romantis ye...

    ditunggu nih....

    BalasHapus
  2. Sadis si ibu Dara nih Gan....

    86 diterima

    BalasHapus

Mari kita buat semua ini menyenangkan.