Selasa, 12 Oktober 2010

Catatan Perjalanan dibalik Ganasnya Pantai Gunung Kidul #1: Gerbang kerjernihan itu bernama Wediombo

Gunung Kidul, salah satu daerah yang memiliki bentangan karst terbesar di Indonesia. Hasil pembentukan alam itu telah memberikan keindahan alam yang layak untuk dirasakan. Beragam bentuk keindahan ditawarkan oleh Kabupaten yang terletak disebelah timur Jogjakarta: Perbukitan karst yang kokoh menawan, wisata purbakala, wisata alam seperti gua dan juga pantai-pantainya yang memiliki karakteristik khas perbukitan karst.

Pantai-pantai Gunung Kidul yang menjadi tujuan saya dan teman saya Yula untuk melakukan perjalanan susur pantai ini. Kami menempuh waktu 2 hari satu malam bersama ganasnya ombak samudera hindia. Inilah sedikit catatan yang tertulis dalam menikmati keindahan dibalik ganasnya pantai selatan. Seperti seorang kawan telah memberi semangat bahwa hasil yang baik adalah hasil yang diperoleh dengan keberanian. Sedikit keberanian dan kenekatan inilah modal utama yang saya gunakan untuk melakukan perjalanan ini, selebihnya saya percaya dengan teman saya Yula yang sepertinya telah terbiasa dengan keaadan ini.

***

Sabtu, 9 Oktober 2010. Hujan lebat mengawali hari ketika matahari belum memberikan sinarnya. Waktu menunjukan pukul 5 pagi, hujan yang turun dipagi ini seperti memberikan satu firasat yang tidak baik akan cuaca hari ini. Namun, keadaan dengan cepat berubah. Hujan mulai mereda pada pukul 6. yang terlihat hanya renai gerimis pagi yang menimbulkan nuansa kehangatan di pagi itu.

Jalanan terlihat lebih bersih, air hujan telah menjadikan aspal hitam itu menjadi mengkilap. Beberapa pedagang makanan yang berada di ruko-ruko jokteng kulon masih terlihat mengenakan baju hangat mereka, ibu-ibu tua itu menikmati pagi itu bersama sopir bus yang ngetem didaerah itu. Lihatlah, gerimis pagi itu menyatukan beberapa orang dibawah atap ruko, mereka berlindung dari hujan. Anak sekolahan, buruh pabrik, bahkan becak yang terlihat merayu anak sekolahan untuk dijadikan calon penumpangnya. Mereka menyatu, berkumpul diantara gerimis pagi. Inilah salah satu hal yang saya suka dari hujan, hujan bisa menyatukan mereka pada sebuah kondisi meski kadang saya juga membenci hujan.

Sesuai janji, saya bertemu dengan Yula teman perjalanan yang akan bersama susur pantai Gunung Kidul. Kami bertemu di meeting point kami di terminal Giwangan. Tanpa menunggu lama kami langsung bergegas menuju bus kecil jurusan Jogja-Wonosari.

Bus kecil yang kami tumpangi cukup bersahabat, bersama seorang sopir yang ramah perjalanan yang ditempuh selama hampir 2 jam berjalan tanpa terasa. Di sepanjang jalan yang penuh tikungan dan tanjakan itu pak sopir yang tak saya tahu namanya itu memberikan beberapa informasi tentang daerahnya. Ongkos dari Jogja-Wonosari hanya Rp. 6.000 untuk satu orang.

Sampai di terminal Wonosari, kami mampir di angkringan untuk sekedar mengisi perut yang masih kosong sambil melengkapi perlengkapan yang akan dibawa selama perjalanan.

Kembali bus kecil akan kami tumpangi, bus kecil jurusan Wonosari – Jepitu. Tidak sulit menemukan bus kecil tersebut, hampir tiap 20 menit bus-bus kecil itu akan berangkat menuju Kecamatan Jepitu. Dalam perjalanan menuju Jepitu akan nampak bentangan perbukitan karst yang menjadi ciri khas daerah Gunung Kidul. Tidak terlihat tandus seperti dalam cerita yang sering didengar, yang nampak adalah gugusan bukit berbatu yang kadang seperti sebuah candi yang tertata rapi. Pemandangan bentangan gugusan karst tersebut bisa menjadi bonus tambahan, dengan ogkos Rp. 6.000 perjalanan dengan bus kecil itu menjadi lebih menyenangkan menuju Jepitu.

Sampai di tujuan kami langsung didatangi tukang ojeg yang telah menunggu di pertigaan Jepitu. Tanpa menawar kami langsung sepakat dengan harga yang mereka tawarkan, Rp. 5000 untuk satu orang menuju Pantai Wediombo. Dengan naik ojeg kami juga bisa lolos tanpa membayar biaya retribusi Rp. 2000 yang biasa ditarik kepada pengunjung Wediombo.

Sebuah cakrawala biru membentang, inilah pemandangan pertama. Dengan jelas nampak Samudera Hindia, bentangan garis lurus yang terhalang pohon itu sejenak menghilangkan lelah setelah selama 3 jam berada dalam bus. Pemandangan ini terlihat setelah saya melalui pos retribusi, dalam hati saya sempat berujar “senang bisa berjumpa kembali denganmu Wediombo.”

Pantai Wediombo merupakan pantai dengan pasir putih yang menarik. Sebagai slaah satu pembentukan pantai perbukitan karst dengan karakteristik pantainya yang berbeda dengan pantai-pantai di jogja, Wediombo menawarkan eksotisme keganasan pantai selatan dengan sendirinya.

Saya masih terduduk menikmati salam perjumpaan kembali dengan pantai ini, pemandangan pantai, gemuruh ombak serta awan yang berarak mengalihkan perhatian yang sebelumnya mengusik pikiran. Itu tentang kekalahan tim Garuda yang belum mengalahkan Uruguay, beberapa headlines di suratkabar yang membuat saya tidak menerimanya. Saya memang menerima kekalahan tim Garuda, tapi saya tidak menerima kepada semua surat kabar yang terlihat mengucilkan kekalahan tim Garuda. Seharusnya mereka terus mendukung bukan dengan menggunakan moment kekalahan tersebut melalui tulisan pada headline yang menambah kekalahan. Namun semua perhatianku tentang itu semu sudah teralihkan dengan Wediombo, sedikit juga membayangkan ratusan kilometer dari sini, Wasior, Papua semoga juga bisa merasakan ketenangan seperti yang saya rasakan waktu itu, banayk doa untuk saudaraku disana.

Wediombo dengan keunikannya selalu memberikan sesuatu yang tak perlu untuk dituliskan kembali. Datang dan rasakanlah setiap hempasan angin, dengarkanlah deburan ombak pada karang yang berdiri kokoh itu.

Setelah menikmati sejenak Wediombo, kami beristirahat di bawah pohon kelapa untuk segera memulai perjalanan yang akhirnya kami tahu bahwa perjalanan ini ternyata penuh dengan resiko. Beberapa kumang kecil terlihat berjalan dengan lambat, sepertinya bulan ini adalah musim kumang-kumang itu menetas diantara pasir putih Wediombo.

Bersama gemuruh ganasnya ombak samudera hindia yang akan menjadi teman selama perjalanan, kami akan memulai perjalanan susur pantai ini. Kami sadar bahwa kami telah sedikit keluar dari rutinitas keseharian kami, keluar dari zona kenyamanan hanya untuk mencari sebentuk keindahan dibalik keganasan Pantai Gunung Kidul. Pantai Wediombo menjadikan gerbang kejernihan yang gambaran jernihnya hanya bisa ditemukan pada lukisan.(kutipan syair “Bunga dan Burung” Tan Swie Han) yang akan mengawali perjalanan kali ini.

to be continue.......

9 komentar:

  1. pertamaaaaaaaaaaaaaaaaxx,,, pantai ini adalah pantai di Gunungkidul yang pertamakali saya datangi saat duduk di bangku SD atau SMP, keren memang, jaduh dari hiruk pikuk, tempat yang nyaman untuk berkontemplasi. Sayang waktu kesana lebaran kemarin suasana tidak setenang yang saya kira.. ramai. Next trip direncanakan secara matang ya mas, biar saya bisa gabung dan bikin album merah jambu part 2 :lol:

    BalasHapus
  2. itu privat time kalo mau bikin serial album merah jambu huha. next trip lebih matang, ben iso nyaman.

    @Lutfi: masih dikamera orang mbak, tulisan selanjutnya akan lebih banyak fotonya. lagian ini baru sampe Wediombo hehehe. makasih sudah mampir mbak.

    BalasHapus
  3. Kemarin baru dapat 5 pantai yang bernama, selebihnya itu hanya pantai tanpa pasir dengan batu kali juga ada lho. nanti foto-foto ekslusif akan terupload dengan sendirinya.

    BalasHapus
  4. Ini..baru tulisan..!!!wkwkwk..

    BalasHapus
  5. hahaha sesuatu akan dikerjakan dengan penuh keberanian, seons tenaga, 3 liter air putih ditambah sisa nafas akan menghasilkan yang berbeda. thanks a lot bro.

    BalasHapus
  6. apik...apik...apikkk
    ndak mung tulisane.. tapi ceritane, kata-katane sik sederhana, plus 'sik ra nguati' FOTOne...
    mari perjalanan selanjutnya diagendakan... :D

    BalasHapus

Mari kita buat semua ini menyenangkan.